Opini,  Stories

Kehidupan Jalanan Kota Surabaya

Kamis (4/10), saya kembali menjajal bus kota Surabaya setelah terakhir kali awal tahun 2017 (kalau tidak salah). Tidak ada perubahan berarti, kernet bus masih saling berebut penumpang, para porter yang masih saja memaksa, dan calo-calo ‘tak kasat mata’ yang silih berganti menghampiri penumpang yang baru turun.

Di dalam bus, kursinya sobek-sobek, AC mati, ngetemnya super lama dan tidak lupa hiburan ala pengamen jalanan dengan suara merdunya turut mengiringi waktu tunggu. Walau aslinya sedikit menghibur, hawa panas di dalam bus seolah tak mengizinkan penumpang untuk menikmati musiknya. Kaca jendela yang dibiarkan terbuka pun jadi tak ada artinya, lah tidak ada anginnya.

Penjaja asongan pun masih dengan bebasnya berkeliaran. Para pencari nafkah ini menaruh barang-barang dagangannya di pangkuan para penumpang. Dengan kalimat sedikit memaksa, untungnya tidak sampai adu mulut, hanya gerutu kecil yang keluar dari mulutnya karena dagangannya yang tak kunjung laku.

Penumpang bus kota ini tidak lain adalah orang-orang yang golongannya tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang disebutkan di atas. Keringat mengucur dari wajah penuh letih. Ada yang tangannya gemetar sambil menenteng dua tas plastik besar. Tidak lupa, uang dua ribuan berjumlah tiga lembar sebagai ongkos digenggamnya erat. Ada lagi, seorang gadis berkerudung yang saya duga adalah mahasiswa yang baru saja pulang kampung. Tidak ketinggalan ibu-ibu paruh baya yang sedari tadi mengibaskan kerudungnya untuk sekadar ‘bertahan hidup’ di dalam bus ini.

Gambaran di atas tentu tidak sepenuhnya mewakili Surabaya, tapi kita tidak bisa menampik bahwa Surabaya masih memiliki sisi gelap. Kondisi kota terbesar kedua di Indonesia ini bisa dibilang wajar bagi negara berkembang seperti Indonesia. Tidak berbeda jauh dari sebelumnya, sulitnya mencari pekerjaan, persaingan yang ketat, dan keterbatasan ‘skills’ jadi alasan mengapa kemiskinan masih menjadi masalah utama yang membelenggu negara ini.

Di sepanjang perjalanan, masih ada anak kecil penjaja koran di sela-sela lampu merah, kakek-kakek penarik becak, dan tentu saja pengendara motor menyebalkan yang naik trotoar dengan seenaknya. Derita pejalan kaki, sudah diguyur hujan debu, menghirup asap knalpot hitam bus kota, pakai diseruduk motor pula, sungguh tidak beruntung nasibnya pejalan kaki. Belum lagi menyoal penyebrangan jalan dimana pejalan kaki harus bertaruh nyawa untuk bisa berpindah sisi. Kalau menunggu sepi, bisa-bisa seharian baru bisa menyebrang jalan.

Tapi di balik itu semua, Walikota Surabaya Bu Risma sudah melakukan yang terbaik versinya. Termasuk perihal penutupan distrik Dolly, semuanya sudah diskenariokan oleh beliau. ‘Orang-orang ini’ diberi makan, dicarikan pekerjaan, diberi rusun murah meriah, tidak lain adalah sebagai usaha Surabaya menuju kota yang ramah bagi semua orang. Kendati APBD Surabaya hanya 1/10 DKI Jakarta, Surabaya membuktikan mampu mengangkat masyarakatnya, terbukti dengan banyaknya penghargaan yang diterima beliau.

Membandingkan Surabaya dan Singapura rasanya tidaklah tepat. Tapi, perjuangan Pemkot Surabaya dalam menaikkan taraf hidup masyarakatnya sudah patut diapresiasi. Angka pengamen dan pengemis pun diakui Bu Risma sudah turun dari tahun ke tahun akibat adanya pembinaan, bukan pembinasaan. Logis memang, negara sekelas Italia saja, masih ada orang-orang yang masih mengadukan nasibnya di jalanan.

Sekarang adalah tugas kita untuk menjadi warga yang cerdas. Jangan sedikit-sedikit menyalahkan pemerintah. Belum dapat pekerjaan, yang disalahkan pemerintah, padahal penginnya gaji gede tapi ‘skill’ tidak ada. Di perjalanan macet, yang disalahkan pemerintah, padahal sendirinya naik ojek online yang ikut menambah volume kendaraan. Harga bahan pokok naik, yang disalahkan pemerintah, padahal kerjaannya hampir tiap weekend nongkrong di Starbucks, atau paling tidak OOTD di kafe-kafe unik dengan menu Indomie andalannya. #AyoMikir #RevolusiMental

2 Comments

Leave a Reply to Alris Cancel reply

%d bloggers like this: