Stories

Kehilangan Kenangan di Kampung Halaman

Memasuki tulisan kedua nih, entah kenapa kalau jenis postingan cerita-cerita begini gue serasa lebih lepas menulisnya. Dibanding jika menulis berita, essai, dan laporan lain, postingan yang bersumber dari pengalaman gue akan lebih gampang, cepet pula. Walau kadang (atau malah sering?) gak sinkron antar kalimatnya hehe. Bodo amat.

Kalau kemarin gue ngebahas kisah blog gue yang udah gue rawat sepenuh hati selama 7 tahun lamanya, sekarang gue bakal ngebahas tentang tempat kelahiran gue dan tetek bengeknya. Ada apa aja sih disana, sekarang gimana, dan apa aja hal menariknya?

Baca juga: Perjalanan 7 Tahun Menjadi Blogger | Mendadak Kangen #1

Nah, jadi gue itu lahir di sebuah desa kecil di Negara, Kecamatan Daha Selatan di pedalaman Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan (Hidup Bocah Pantai Selatan!). Sejak kecil gue tumbuh dan besar disini bersama seluruh keluarga besar gue. Tapi, itu berlangsung sampai gue lulus SD doang. Karena SMP gue udah pindah a.k.a sekolah di luar kota sendirian.

Baca juga: Kampung Halaman dan Kesederhanaan

Rumah gue adalah yang paling ngangenin. Rumahnya tersusun dari kayu-kayu ulin keras dan bertingkat dua pula. Dulu, AC, Kipas Angin dan sejenisnya sama sekali ga diperlukan karena memang udah adem banget. Di sekeliling rumah ada pepohonan rindang dengan berbagai jenis. Tapi kebanyakan adalah pohon yang berbuah, makanya setiap musim buah orang-orang disini jarang beli, melainkan panen punya sendiri. Ada mangga, rambutan, palem, jambu, dan macem-macem.

Yang gue suka, persis depan rumah gue ada sungai yang bermuara ke sungai barito sana dengan jembatan kecil di atasnya. Ketika gue masih SD, sepulang sekolah sering banget berenang disana dan nangkep ikan sungai juga. Bikin kapal-kapalan dari kayu bekas, main ilung, dan yang paling gue suka adalah ‘bagalau’. Definisinya, kayak mencari ikan di sungai berlumpur pakai tangan kosong gitu. Kalau udah dapet, bukannya dikasih ke orang tua buat di masak, ikannya malah gue jual. Itung-itung nambah uang jajan.

Baca juga: Kampung Halaman dan Kesederhanaan

Pernah, dulu gue sempet ngilangin barang ayah. Kalau ga salah palu deh. Dulu itu lagi heboh dan seru-serunya melihara ayam yang warna-warni. Nah, gue gamau ketinggalan dong. Jadilah gue sama temen-temen beli bareng itu anak ayam kyut. Oke ayam udah ada, trus kandangnya? Disini nih malapetakanya. Gue bikin kandangnya dari bilah-bilah bambu di teras depan rumah. Modal nekat doang, gue getok-getok deh tuh bilah-bilah sampe hampir jadi kandang sederhananya, namun tiba-tiba aja ada bunyi *plung* *csss*. Kelepas, dan palunya jatoh ke sungai! Gue panik.

Apalagi saat itu airnya lagi pasang. Mampus. Ayah gue pun akhirnya tau sepulang kerja pas dia lagi nyari-nyari palu tapi ga ada karena liat gue dan KANDANG AYAM hampir selesai punya gue. Ga ada baik-baiknya, gue disemprot, dimarahin, dan langsung disuruh nyelem ke sungai saat itu juga. FYI, it was 5 PM hiks. Saat dimana matahari udah mulai tenggelam, artinya hari udah mulai gelap. Kebayang kan gimana nyari palu di sungai yang cukup dalam dengan keadaan minim pencahayaan. Di bawah kolong rumah pulak! Hasilnya pun nihil. Gue tetep dimarahin dan dihukum lagi dengan dikurung di kamar mandi selama satu jam.

Cara ngedidik ayah gue emang keras waktu itu. Pokoknya, kita sebagai anak-anaknya kudu bertanggug jawab atas apa yang udah kita perbuat. Termasuk perilaku gue yang udah ngilangin benda gak penting ‘berharga’ nya tersebut. Sejak saat itu pula, gue udah anti banget buat pinjam apa-apa punya orang. Takut rusak, takut hilang, dan takut kalau dikurung di kamar mandi lagi. :’(

Baca juga: Abah-Abah Perahu

Kedekatan dan Kenangan

Di samping kanan rumah gue ada rumah acil lamak, di belakangnya ada rumah paman utuh, mama haji, dan acil sumi serta acil bimah. Mereka adalah saksi tumbuh kembang gue disini. Bukan hanya sekedar tetangga, melainkan keluarga. Sering di saat gue ditingga sendirian di rumah karena orang tua dan saudara pergi, gue nginep di rumah salah satu dari mereka. Ga ada lagi yang namanya perasaan sungkan, semuanya membaur seakan rumah gue adalah rumah lo juga.

Bahkan gue sering main ke rumah mereka, dengan polosnya masuk tanpa harus menghaturkan salam, tak mengenal waktu pula. Sebebasnya, seakan tidak ada sekat yang membatasi, apalagi yang kasat mata seperti pagar. Tidak ada. Keluarga berada membantu yang kekurangan, pun sebaliknya.

Sekarang semuanya sudah tidak ada lagi. Kehangatan akan rumah ternyaman yang pernah gue dan keluarga gue huni sudah tidak dapat dirasakan lagi. Orang-orang, tingkah lakunya, aktivitasnya, dan semua momen tidak lagi ada. Semuanya hilang seakan tanpa jejak, enggan untuk kembali diingat, apalagi mengingatkan.

Rumah tempat gue lahir yang gue agung-agungkan telah bertransformasi menjadi arang hitam pekat. Tidak ada tiang-tiang menjulang tinggi lagi, loteng, pekarangan rumah, semuanya rata dengan tanah. Ya, sejak kejadian kebakaran hebat pada 2006 silam, tidak ada lagi tempat berlindung penuh memori seperti dulu. Tidak ada yang tersisa sebab seluruh perabot, motor, surat-surat berharga, dan pakaian sehelai ikut dilelap oleh pembunuh kenangan masa kecil gue itu.

Terlebih pada saat kejadian, kebetulan saat itu hari minggu, gue menjadi satu-satunya penghuni disana. Orang tua dan saudara-saudara gue sedang ada di Banjarmasin menghadiri wisuda kakak kedua gue yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan polisinya. Gue seperti orang linglung ketika mendengar kentongan tiang listrik yang menandakan adanya kobaran api.

Dengan polosnya gue berjalan mengikuti arus masa yang hilir mudik berlarian, entah kemana arahnya. Tanpa membawa apapun, dengan kondisi belum mandi karena sedang asyiknya menonton kartun akhir pekan kala itu. Mengenakan kaos lengan pendek bergambarkan tokoh kartun popeye, demikian dengan celana pendek yang membalut kedua kaki gue yang mungil.

Mungkin, gue sedang proses memahami saat itu. Bahwa hidup tak hanya sekedar bangun, makan, sekolah, main, dan tidur saja. Bahwa hidup tidak pula dihabiskan dengan menonton kartun di hari minggu saja. Ataupun, bahwa hidup itu tak selamanya bisa bahagia. Berleha-leha tepatnya.

Jujur, gue saat ini begitu menyesali kejadian delapan tahun silam. Ketika kepentingan pihak-pihka tertentu menghancurkan kedamaian dan kerukunan kampung gue. Yup, apalagi rumour has it that kebakaran itu adalah buatan sebagai langkah pengosongan lahan sebagai upaya revitalisasi pasar. Entah, faktanya bagaimana, yang jelas peristiwa tersebut menjadi titik awal kelumpuhan ekonomi keluarga. Ditambah dengan berbagai gangguan sosial dan masalah-masalah lain yang silih berganti menghampiri.

Hingga detik ini pun, rumah yang dulu begitu nyaman, tak lagi bisa diwujudkan untuk kembali dibangun. Apalagi, jika harus kembali menumbuhkan harmoni yang dulu pernah ada. Sangat mustahil rasanya. Hingga detik ini pula, gue gak pernah lagi ketemu orang-orang yang dulu menghias keseharian gue tatkala keluar rumah, berkumpul, dan bermain. Entah dimana keberadaan kalian sekarang, gue harap selalu dilimpahkan keberkahan dalam hidupnya. Agar kelak tidak ada lagi keharuan seperti yang gue takutkan.

PS:

Semenjak kejadian gue dan keluarga pindah ke rumah sewaan berjarak sekitar 10KM yang jauh dari keramaian.

Sekarang gue dan keluarga udah pindah ke luar kota, meninggalkan semuanya.

Mungkin, gak bakal ada lagi yang namanya pulang kampung :’)

 

Baca juga: Tentang Penulis

I missed my peaceful home, neighbor, old-friends :’(

I missed my whole perfect family, mom, dad, without any issues :’(

I missed every day we spent together, without having to worry about tomorrow :’(

I missed being active doing ridiculous things without any gadget :’(

Incoming search terms:

14 Comments

  • Rullah

    Wah orang Kalimantan toh, salam kenal mas.
    Banyak cerita dari teman yang penah main ke sana kalau rumahnya terbuat dari Kayu Ulin (Kayu Besi). Kayu yang harganya sekarang selangit unk di Jawa dan sekitarnya. Kaloc erita kampung lebih cepat karena kita serasa mengenang masa kecil yang tidak pernah kita lupakan, mas

    • Muhammad Ridha Tantowi

      Bener mas, disini kebanyakan rumahnya pake kayu ulin. Walau secara tampilan mungkin kalah sama rumah beton sekarang tp secara kualitas kayu ulin top banget. Hehe. Dan juga dulu tuh kalo di rumah mesti dingin, ga perlu kipas angin dll karena emang kayu ulin bisa nahan panas. Hehe, makasih mas sudah berkunjung:D

  • Rianda prayoga

    Kisahnya sedih ya mas. Saat sudah kehilangan, disitulah trasa banget sedihnya, nyeselnya. Tapi masalalu bukan utk dijadikan penghalang, namun buat pelajaran dimasa depan yg lbih baik..

  • Beautyasti1

    Hidup bocah pantai selatan.. Wah, ada bolang nih.. Hehehe.. Cerita ini bagus, memang seharusnya kalau gak genting sekali kita gak perlu meminjam barang orang lain. Sebisanya kita punya sendiri dan gak ngerepotin orang, apalagi orang tua.. (Tapi di jogja juga ada yang namanya oantai selatan yah.. ^_^)

    • Muhammad Ridha Tantowi

      Wkwk, sebenere malah ditempat saya ga ada pantain. Ngarang doang, haha. Iya gitu mbak, makanya saya selektif banget sekarang kalau mau minjem barang orang Pernah juga dulu ngilangin sepeda gunung temen, hiks. Bolehlah ntar saya main ke jogja ya mba hehe

  • Umami

    Kejadiannya udah lama sekali memang, tapi pasti masih terasa bekasnya sampai sekarang dan menjadi kisah yang tidak bisa diabaikan. Turut belasungkawa mas, semoga itu memang yang terbaik dan diberikan ganti yang lebih baik.

  • Azmi

    emang adem kalo tinggal di desa gitu mas, apalagi jauh dari yang namanya handphone atau gedget yang lainnya dan kita bisa jalan-jalan menikmati alam tanpa ada gangguan notif dari Fb atau ig. pokonya enak dehh apalagi sambil makan buahnya orang wkwkw

  • om rame

    emang sih, tuLisan-tuLisan kayak gini sangat meLegakan. seoLah sudah meLepas beban yang rajin nempeL di benak.
    kira-kira begituLah kuaLitas dari fiksi, penuLis terasa Lega seteLah menuLiskannya dan secara diam-diam arwah tuLisannya meneLusup meraba hati pembaca, mencubit kesadarannya. ada sesuatu yang menempeLnya daLam pikirannya, entah itu terpesona oLeh kisah tersebut atau mereka maLah meLambungkan khayaLan tentang dirinya sendiri

Leave a Reply to Muhammad Ridha Tantowi Cancel reply

%d bloggers like this: