A Story of A Cup of Coffee, Biased Memory, and Logical Fallacy
Udara dingin dan gerimis yang sesekali turun tidak menghalangi saya dan beberapa teman lainnya untuk keluar dari V-Huset. Misi ini adalah untuk mendapatkan segelas kopi hangat dari vending machine yang tersedia di A-Huset, gedung sekolah Arsitektur yang lokasinya hanya terpisah oleh jalan setapak setelah V-Huset.
Tidak butuh waktu lama, kedua tangan setengah beku saya sudah memegang papercup mungil yang terisi 3/4 kopi hangat di dalamnya. Walau tak bertahan lama, kehangatan sederhana ini masih saya nikmati sepenuhnya. Kebetulan, hari itu suhu masih belum bersahabat dengan musim semi yang seharusnya bisa lebih hangat. Setidaknya, bagi manusia beriklim tropis seperti saya, lima derajat celcius masih belum cukup layak disebut sebagai musim semi.
“Bagaimana kopinya?” tanya saya.
“Rasanya tidak lebih enak dibanding yang kemarin.” jawab WL, seorang teman saya di program yang sama.
“Memang hari ini rasanya aneh, tidak seperti biasanya,” timpa Amr dengan gelengan kepalanya tanda setuju atas jawaban WL.
“Sepakat, sebagai orang baru yang mencoba meminum kopi dari vending machine ini, rasa kopi ini tidak lebih dari serbuk kopi kualitas jelek yang dilarutkan dengan susu. Dominan pahit, tidak ada sedikit pun rasa manisnya,” ucap saya, sambil menggerutu seraya masih menyeruput perlahan kopi seharga 6 Swedish Kronor itu.
Misi berhasil, kita semua pun kembali ke V-Huset untuk melanjutkan perkuliahan yang akan berakhir di Pukul 16.00 waktu setempat.
Sebagai pemula di grup penikmat kopi vending machine ini, saya tidak memiliki pengetahuan dan memori untuk membandingkan rasa kopinya. Apakah kopi hari rasanya memang tidak enak? Atau mungkin, vendor menggunkan merk dan jenis kopi/susu yang berbeda dari biasanya?
Keesokan harinya, adegan di kopi vending machine yang sama kembali terulang.
“Bagaimana kopinya hari ini?” tanya WL yang sudah tidak sabar mendengar jawaban positif dari saya.
“Tidak jauh lebih baik dari kemarin. Malahan, kopi kemaren rasanya lebih manusiawi ketimbang hari ini. Layaknya kopi yang hanya dicampur air saja, ini terlalu pahit untuk si manusia penyuka manis seperti saya,”
“Jawabanmu cukup merepresentasikan apa yang lidah ini rasakan,”
“Tapi, mungkinkah ini karena ketidaktahuan kita saja menyoal kopi?” tanyaku, sebab kopi bukanlah hal yang pernah saya ulik secara mendalam. Bagiku, kopi hanya menyoal rasa pahit bercampur manis yang kafeinnya memberikan sumbangsih besar terhadap fokus, daya juang, dan penahan kantuk tak berkesudahan.
Empat bulan sudah saya bermukim sebagai mahasiswa di Swedia. Selama ini pula, saya cukup sering mendengar komparasi beberapa mahasiwa atas dua negara: Swedia vs Belgia, atau Swedia vs Inggris, negara di mana kami menyelesaikan semester pertama lalu.
Dari beberapa perbincangan dengan teman, dalam konteks hidup dan perkuliahan, mayoritas lebih setuju bahwa semester pertama di Belgia / Inggris terasa lebih mudah.
“Meskipun tidak bisa dibilang gampang, saya merasa semester di Belgia lebih menyenangkan,” ucap salah satu mahasiswa di angkatan saya.
Tidak dipungkiri, saya pun pernah berpikir demikian. Terlebih, ada beberapa hal yang sebelumnya tidak saya alami di Inggris, tetapi harus saya alami sekarang di Swedia. Contohnya adalah momen di mana saya harus mengulang salah satu ujian mata kuliah di sini. Atau, contoh lainnya di mana saya harus dijadwalkan bertemu dengan Psikolog untuk sesi konseling yang kalau dihitung, setidaknya sudah ada lima sesi pertemuan.
Lantas, apakah saya serta merta akan setuju dengan pernyataan teman saya tadi?
Belum tentu.
Bagi saya, ada banyak faktor yang harus dibandingkan, mulai dari beban akademik, sosial, finansial, budaya, kondisi mental, dan lainnya. Setelah ini pun, jika harus dikuantifikasi, proporsi dari tiap-tiap aspek ini pasti memiliki bobot yang berbeda. Lagi-lagi, ini bergantung pada konteks, siapa yang mengalami, bagaimana kondisi finansial keluarganya, pengalaman masa lampau, dan aspek-aspek tak kasat mata lainnya. Singkatnya, dari pemikiran dangkal saya hingga saat ini, hidup saya di Swedia tidak seburuk yang mungkin dirasakan oleh teman-teman lain.
Rosy Retrospection Bias
Kecenderungan membandingkan masa sekarang dan masa lalu ini dinamakan Rosy Retrospection. Kita cenderung membandingkan dua hal yang sebenarnya tidak bisa dibandingkan, atau tidak selayaknya dibandingkan.
“Rosy retrospection is a cognitive bias. This term refers to the psychological phenomenon where past events are remembered more positively than they actually occurred. It is a specific type of memory bias that affects how people recall their past experiences, often making them seem more favorable than they were in reality.” (Jonathan Bertan and Dillon Murphy)
Saat mengalami kesulitan di masa sekarang, kita cenderung melupakan titik terendah di hidup kita di masa lampau, seolah-olah perjuangan yang lalu tidak ada apa-apanya dibanding sekarang. Ini terjadi ketika kita tidak sedang benar-benar merasakan perjuangannya sekarang dan malah meromantisasi memori masa lalu. Secara tidak sadar, manusia hanya akan mengingat bagian manis atau positifnya saja, yang tidak cukup merepresentasikan keseluruhan cerita.
Dari beberapa sumber yang saya baca, bias berpikir ini disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari kemampuan berpikir kognitif, pengaruh sosial, hingga pengalaman masa lampau. Adapun dampak negatif dari bias memori ini antara lain: kesalahan pengambilan keputusan, poor well-being, hingga kemurungan dikarenakan ketidakmampuan kita untuk menghargai dan menjalani momen saat ini.
Alih-alih mencari jalan keluar, ada kecenderungan kita untuk menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang sekarang kita buat. Padahal, berbagai macam perandaian atas skenario masa lalu yang dibuat di momen sekarang tidak akan berdampak apapun. Dampak jangka panjangnya, seseorang akan mengalami kesalahan berpikir (logical fallacy) tanpa sadar karena sudah terbiasa akan hal-hal yang ia anggap sepenuhnya benar.
“There is no such thing as good or bad decision, it’s the action that you take that matters,” unknown.
Apa yang dapat dilakukan?
Satu hal yang saya yakini adalah dengan melatih proses berpikir kritis atau critical thinking. Melalui proses berpikir yang runut dan benar, kita bisa mengurangi dampak dari bias memori ini untuk mengambil keputusan ataupun aksi dengan lebih objektif.
Cara lainnya adalah dengan melakukan konsultasi dengan orang lain terdekat/profesional di bidangnya, bisa berupa psikolog, dosen, rekan kerja dll, guna mendapatkan sudut pandang yang berbeda. Sebab, lagi-lagi, akan ada banyak bias yang akan mengintervensi proses berpikir dan pengambilan keputusan jika kita tidak memiliki wawasan lainnya selain diri kita sendiri.
ENGLISH VERSION
The cold air and occasional drizzle didn’t stop me and a few other friends from stepping out of V-Huset. Our mission was to get a cup of hot coffee from the vending machine available in A-Huset, the Architecture school building located just across the footpath from V-Huset.
It didn’t take long before my half-frozen hands held a tiny paper cup filled with 3/4 of warm coffee. Though fleeting, I fully loved this simple warmth. Ironically, that day, the temperature still wasn’t friendly enough for what should have been spring. At least for someone from a tropical climate like myself, five degrees Celsius still didn’t qualify as spring I think.
“How’s the coffee?” I asked.
“It doesn’t taste any better than yesterday,” replied WL, a friend of mine in the same program of my erasmus master’s degree.
“Yeah, today feels odd, not like usual,” Amr chimed in, nodding in agreement with WL’s response.
“I agree. As a newcomer trying coffee from this vending machine, it tastes nothing more than poor-quality coffee powder diluted with milk. Overwhelmingly bitter, not even a hint of sweetness,” I grumbled while still slowly sipping the 6 Swedish Kronor coffee.
Mission accomplished, we all returned to V-Huset to continue the lecture, which would end at 16:00 local time.
As a newcomer in this vending machine coffee group, I lacked the knowledge and memory to compare the taste of the coffee. Was today’s coffee better? Or perhaps the vendor used a different brand and type of coffee/milk than usual?
The next day, the scene at the same coffee vending machine repeated.
“How’s the coffee today?” WL impatiently awaited my positive response.
“Not much better than yesterday. In fact, yesterday’s coffee felt more humane than today. It’s like coffee mixed only with water, too bitter for a sweet-toothed person like me,”
“Your answer pretty much represents what my taste buds feel,”
“But could it be because of our ignorance about coffee?” I asked, as coffee was never something I delved into deeply. To me, coffee was simply about the bitter-sweet taste, its caffeine contributing significantly to focus, resilience, and endless sleep resistance.
Four months have passed since I settled as a student in Sweden. During this time, I’ve often heard comparisons between several students regarding two countries: Sweden vs Belgium, or Sweden vs England, where we completed our first semester.
From several discussions with friends, in the context of life and studies, the majority agree that the first semester in Belgium/England felt easier.
“Although it can’t be said easy, I feel the semester in Belgium is more enjoyable,” one student in my cohort said.
I too have thought so. Moreover, there are some things I hadn’t experienced in England but have to deal with in Sweden now. For example, moments where I had to retake one of the exams here. Or, another example where I had to schedule a meeting with a psychologist for counseling sessions, which, if counted, have been at least five sessions already.
So, would I agree with my friend’s statement right away?
Not necessarily.
For me, there are many factors to compare, ranging from academic workload, social, financial, cultural, mental conditions, you name it. Even after this, if quantified, the proportion of each aspect surely has a different weight. Again, this depends on the context, who experiences it, their family’s financial condition, past experiences, and other intangible aspects. In short, from my shallow thinking until now, my life in Sweden isn’t as bad as it might be perceived by others.
Rosy Retrospection Bias
The tendency to compare the present and the past is called Rosy Retrospection where we tend to compare two things that actually can’t be compared, or shouldn’t be compared.
“Rosy retrospection is a cognitive bias. This term refers to the psychological phenomenon where past events are remembered more positively than they actually occurred. It is a specific type of memory bias that affects how people recall their past experiences, often making them seem more favorable than they were in reality.” (Jonathan Bertan and Dillon Murphy)
When experiencing difficulties in the present time, we tend to forget the lowest points in our past lives, as if the past struggles meant nothing. This happens when we are not really feeling the struggle now and instead romanticize memories of the past. Unconsciously, we only remember the sweet or positive parts, which do not sufficiently represent the whole complete story.
From several sources I’ve read, this bias is caused by many things. Starting from cognitive thinking abilities, social influences, to past experiences. The negative impacts of this memory bias include: decision-making errors, poor well-being, and even depression due to our inability to appreciate and live the presence.
Instead of seeking a way out, there is a tendency for us to blame ourselves for the decisions we make now. In fact, various premises about past scenarios made in the present moment will have no impact. The long-term impact, someone will experience logical fallacy unconsciously because they are accustomed to things they consider completely true.
“There is no such thing as good or bad decision, it’s the action that you take that matters,” unknown.
What can be done?
One thing I believe in is to train our critical thinking. Through a systematic and proper thinking process, we can reduce the impact of this memory bias to make decisions or actions more objectively.
Another way is to consult with close/professional people in their field, such as psychologists, lecturers, colleagues, etc., to get a different perspective. Because, again, there will be many biases that will intervene in the thinking process and decision making if we don’t have other insights other than ourselves.