Belajar Menjadi Pengemudi, Bukan Penumpang
Dalam sebuah konsep perpindahan akan terdapat subjek yang memindahkan dan objek sebagai yang dipindahkan. Tidak melulu manusia yang berperan sebagai subjek dan objeknya. Bisa saja sebuah benda mati ataupun sistem yang tak dapat diterka wujud fisiknya.
Di dalam kehidupan manusia dewasa ini, secara sederhana, padanan ini diibaratkan seorang pengemudi dan penumpang. Lebih spesifik lagi, driver gojek beserta penumpangnya. Jika ditransformasikan ke bahasa yang lebih keren, kita sebenarnya sudah lama dikenalkan dengan dikotomi leader dan follower. Istilah-istilah tersebut merujuk pada deifinisi yang kurang lebih sama.
Baca juga: Memaklumi Alasan Klasik Mahasiswa
Pengemudi bertugas mengendalikan kontrol dan memastikan penumpangnya dapat sampai ke titik tujuan dengan aman serta nyaman. Jika pengemudi tidak tahu rute, otomatis ia tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu, di tengah perjalanan, sangat tidak mungkin seorang pengemudi mengantuk atau bahkan tertidur. Bisa-bisa ia dan penumpang akan celaka.
Penumpang didefinisikan hanya menumpang dan menikmati perjalanannya. Ia tidak harus tahu jalan untuk bisa sampai ke tempat tujuan, cukup sebutkan saja destinasinya. Jika ternyata di tengah jalan terjadi kecelakaan, maka penumpang tidak akan dituntut. Sebaliknya, pengemudi lah yang harus bertanggung jawab. Lebih parahnya, sudah luka-luka, kendarannya rusak berat, ia masih harus mengganti rugi atas perbuatannya. Syukur-syukur jika si pengemudi memiliki asuransi kecelakaan.
Dalam kehidupan berorganisasi, baik pengemudi maupun penumpang harus sama-sama menampilkan performa terbaik. Namun, sejatinya, menurut Rhenald Kasali, menjadi pengemudi jauh lebih baik ketimbang menjadi penumpang. Terlebih, di negara berkembang seperti Indonesia.
Apa alasannya?
Seorang pengemudi akan mampu melahirkan ide-ide cemerlang dengan berbagai produk dari aksinya. Sebab, keberanian mengambil risiko adalah modal utama yang dimiliki seorang pengemudi. Dengan konsekuensi dan tanggung jawab yang tinggi, pengemudi menjadi lebih terasah untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Pengemudi harus lebih “Pintar” daripada penumpang jika tidak ingin tersesat di jalan.
Saya sepakat dengan pernyataan di atas. Banyak hal yang bisa dijelajah dengan kita menjadi seorang pengemudi. Layaknya mencari rute baru setelah terperangkap di kemacetan tanpa ujung. Pengemudi, sebagai penanggung jawab, akan perlahan memiliki kesadaran bahwa ia harus bergerak dan berusaha menemukan solusi-solusi baru yang out of the box.
Di Indonesia, karakter-karakter seperti itulah yang harusnya dimiliki setiap individu di masyarakat. Sebab, negara maju tidak serta merta menjadi maju jika rakyatnya terus-terusan memiliki pola pikir serupa penumpang yang hanya ingin duduk manis saja. Percayalah, tidak ada yang namanya perubahan tanpa adanya aksi.
Sudah kurang lebih tiga bulan lamanya saya menjabat pemimpin redaksi (pemred) di sebuah unit. Jikalau dianalogikan dengan pengemudi dan penumpang, saya haruslah mencerminkan seorang pengemudi. Namun pertanyaannya, sudahkah saya menjadi seorang pengemudi yang baik untuk para penumpangnya?
Saya bisa bilang dengan tegas bahwa tidak mudah untuk menjadi seorang pengemudi yang baik dan meyenangkan semua orang. Respons saya tentu berbeda jika bertemu dengan orang yang emosinya sering tidak stabil dengan orang yang bully-able tapi tidak mudah terbawa perasaan. Dengan demikian, respons yang saya berikan juga akan semaksimal mungkin berbeda.
Ada puluhan kepala, tentu berbeda pula karakternya. Prinsip yang saya pegang adalah untuk seminimal mungkin menggunakan perasaan. Lebih-lebih, unit yang saya pegang mengedepankan sikap professional yang bisa dibilang sebuah miniatur kehidupan professional di bangku perkuliahan. Tidak ada lagi ceritanya anggota “Mbambet” lalu ditoleransi hingga kebablasan.
Tidak memiliki perasaan? Ada yang pernah bilang begitu. Tidak salah, namun patut dicatat bahwasanya ada banyak tahapan dalam pengambilan sebuah keputusan. Ketika memang sudah sesuai prosedur dan kesepakatan bersama, maka tidak salah jika “keputusan tidak mengenakkan” tersebut diambil.
Beruntungnya, hingga detik ini, saya bisa (semoga) tegas untuk tetap pada pendirian yang saya buat. Lebih-lebih menyoal tanggung jawab yang sudah diamanahkan. Sebenarnya gampang saja untuk saya jika ingin tenang menjalani semester terakhir saya di kampus pahlawan ini. Tinggal duduk manis dengan status seorang pemred, tidak perlu susah-susah, gaji terus mengalir setiap bulannya.
Walaupun demikian, bukan itu yang saya impikan. Saya masih ingin sekali lagi melihat orang-orang terdekat saya menjadi signifikan perkembangannya. Di zaman yang serba cepat ini, ilmu dan beragam jenis pengetahuan bisa didapatkan dengan mudah di laman internet. Namun, menumbuhkan sikap tanggung jawab dan berintegritas itu yang sulit.
Tidak cukup sehari, dua hari. Dibutuhkan usaha, kerja keras, dan kemauan yang kuat untuk bisa memiliki nilai-nilai tak kasat mata tersebut. Tidak perlu guru, tidak perlu pemimpin, cukup memenuhi prasyarat tadi dulu. Caranya memang sulit dan itu mutlak. Sebab, lagi-lagi, kalau memilih gampang, maka saya akan memilih menjadi penumpang saja. Tinggal duduk manis dan terima gaji. Beres.
Baca juga: Usaha Keras Tidak Akan Mengkhianati
Kembali ke konsep perpindahan seperti yang saya bahas di awal, maka nilai perpindahan diukur dari jarak terpendek dari titik awal. Tak peduli seberapa jauh jarak yang ditempuh, jika ia kembali ke titik semula maka perpindahan tidak akan terjadi. Apa jadinya jika suatu organisasi atau unit tidak mengalami perpindahan? Tidak jauh beda seperti jalan di tempat dengan rutinitas yang itu-itu saja. Membosankan dan tidak ada perubahan.
Akhir Bagian Pertama