
Budaya Partisipatif dan Indonesia Tanpa Pesimisme
Kembali ke pembahasan mengenai pengemudi dan penumpang, saya jadi teringat akan bagaimana kagetnya saya di hari pertama perkuliahan di Porto dimulai. Saya yang sama sekali tidak mengerti bahasa portugis saat itu benar-benar dibuat bingung.
Satu sesi perkuliahan berdurasi empat jam. Setelah 2 jam pertama, terdapat jeda istirahat selama 1o menit. Di sesi pertama, dosen memberikan materi layaknya dosen-dosen biasa yang saya temui di Indonesia. Bermodalkan pointer di tangan kiri untuk memindahkan slides power point dan sebuah buku tebal di tangan kanan, ia terus bercerita tanpa interupsi.
Selesai menjelaskan materi, tanpa komando, para mahasiswa yang belum saya kenal ini langsung berebut untuk menyanggah pernyataan si dosen ataupun yang hanya sekadar menambahkan informasi yang mereka ketahui.
Saya masih terdiam. Sesekali melempar senyum ke teman di kanan, kiri, dan depan saya. Walau sudah pernah belajar mengenai arsitektur lanskap di tahun ketiga saya di Indonesia, namun tetap saja saya geleng-geleng kepala. Mata kuliah sejarah lanskap itu sungguh sangat kompleks, belum lagi menyoal bahasa pengantarnya yang ajaib.
Selesai sesi pertama, mahasiswa berhamburan ke luar ruang kelas. Tidak ada yang spesial. Tujuannya hanya untuk menyeruput kopi hangat ditemani sepotong sandwich. Maklum, Porto ketika itu sedang dalam masa transisi musim gugur ke dingin.
Memasuki sesi kedua, dosen tidak lagi menjadi pengemudi tunggal Ia berbaur dengan mahasiswa sembari menjelaskan praktek yang akan dilakukan sebagai penerapan teori dan materi yang sudah diajarkan. Seketika saya kaget.
“Belum paham apa-apa kok langsung ditembak begini,” gumam saya.
Tapi keraguan dan kekhawatiran tadi seketika hilang tatkala sang dosen menghampiri saya. Perlahan tapi pasti, ia terus saja menyuntikkan keyakinan positif bahwa saya akan baik-baik saja di kelasnya.
“Tidak ada materi yang sulit, menyoal bahasa nanti gampang, teman-teman juga akan membantu kamu untuk belajar, yang terpenting niat dan usaha.”
“Tapi saya bukan dari arsitektur lanskap, sir.”
“Tidak masalah, malah akan banyak perspektif baru dari kamu untuk saya dan mahasiswa lainnya di sini.”
“Saya juga sebenarnya bukan mahasiswa terbaik di kampus saya pak, jadi masih sangat minim pengetahuan saya. Lagipula, ini keberuntungan saya bisa terpilih.”
“Jika kamu sudah berhasil sampai sini. Itu artinya kamu sudah selangkah lebih maju dari teman-temanmu yang lain. Dan saya yakin kamu itu potensial.”
Percakapan dua manusia berbeda warna kulit dan mata ini akhirnya saya akhiri dengan anggukan kecil tanda setuju. Walau sebetulnya saya belum seratus persen yakin akan menjadi sesuai dengan ekspektasi dosen tersebut.
Saya kemudian mendapat kelompok bersama Antonio. Mahasiswa tahun ketiga ini berperawakan tinggi dengan rambut keritingnya yang unik. Selebihnya akan diceritakan di lain kesempatan.
Setelah membaca cerita di atas, nilai apa yang bisa dipetik? Atau sederhananya dulu, apa hubungan cerita di atas dengan konsep pengemudi dan penumpang?
Pertama adalah soal partisipasi. Pengemudi mengambil penuh kontrol dirinya akan apa yang ingin dilakukan. Seorang pengemudi akan (dan harus) berani mengambil keputusan, lebih-lebih keputusan tersebut tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kebermanfaatan orang banyak.
Mahasiswa di luar negeri, khususnya Porto, seperti yang saya ceritakan, terkenal selalu bersemangat dan fokus dalam sesi perkuliahan. Sebab, sepengetahuan saya, mereka telah didikte bahwasanya menjadi seorang pembelajar bukanlah yang hanya duduk manis di bangku sembari mendengarkan penjelasan dosen.
Lebih dari itu, mahasiswa dituntut untuk menyuarakan kegelisahan, ketidaksepakatan, dan argumen lainnya. Termasuk berbagi pengalaman terhadap materi yang sedang dibahas. Bukan untuk dipamerkan tentunya, melainkan untuk memberikan gambaran berbeda dan informasi tambahan yang mungkin tidak diketahui dosen dan mahasiswa lainnya. Ini cukup sering saya jumpai.
Buang jauh-jauh pemikiran sempit tentang mahasiswa yang cari muka, pamer, sok-sokan, atau gegayaan sekalipun. Indonesia masih butuh banyak orang pembawa perubahan. Salah satunya lewat implementasi budaya partisipatif ini. Sebab caci maki, bullying, dan sejenisnya tak akan memberikan manfaat sedikitpun. Malahan, akan membuat waktu kita terbuang sia-sia karena membicarakan orang lain.
Kedua adalah tentang kekuatan energi positif. Dari percakapan saya dengan dosen kelas saat itu, ia berusaha keras memancarkan energy positif kepada saya. Tidak peduli atas jawaban-jawaban yang terkesan pesimistis, ia masih meyakinkan bahwasanya saya adalah versi terbaik dari diri saya.
Sebagai seorang pengemudi, ia masih ingin melihat saya bisa kelak menjadi serupa dirinya. Hingga mahasiswa menurutnya bukanlah penumpang yang dikendalikan penuh oleh dosen, melainkan oleh diri mereka sendiri.
Keyakinan bahwa materi bisa dipelajari, bahasa asing bisa dikuasai, gaya belajar bisa diadaptasi, membuat saya terus merenungkan perkataan dosen tersebut. Bersamaan dengan ketakutan hidup di lingkungan baru, namun perlahan optimisme itu mulai tumbuh di pribadi saya.
Saya bilang saya sepakat.
Karena memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selagi berusaha keras, maka usaha tersebut tidak akan mengkhianati hasilnya. Jika kelak tidak sesuai ekspektasi, bisa jadi usahanya masih kurang dari rata-rata orang kebanyakan.
Pesimisme seperti sudah mendarah daging di kultur masyarakat Indonesia. Termasuk saya yang dulu. Banyak hal yang tidak masuk akal kala itu, tapi memang tidak ada pilihan lain selain berusaha keras. Ide untuk dilahirkan dari rahim berbeda atau mencari orang tua angkat yang kaya raya atau ide untuk lahir dengan banyak talenta sangatlah tidak mungkin.
Cara sederhana untuk menjadi pengemudi adalah dengan terus konsisten bekerja keras dan cerdas yang dibarengi dengan mindset positif untuk menghasilkan pribadi yang positif pula.
Akhir Bagian Kedua


One Comment
Cc
Terima kasih atas energi positif yg di tularkan ya kak👍