Dilema Menjadi Indonesia Seutuhnya
“Aku paham,” ucapnya singkat sembari mengembangkan sedikit senyum kepadaku yang sedari tadi dilanda kebingungan. Banyak hal yang ingin kuutarakan, namun ada banyak hal pula yang menghalangiku untuk berkata demikian.
“Aku meninggalkan keluargaku, teman-temanku, negaraku, bukan karena aku tidak sayang mereka, tapi sebagai bekalku menjadi prbadi yang lebih tangguh lagi,” jelasnya yang kubalas dengan anggukan kecil tanda setuju. Karena memang tidak ada yang perlu diragukan lagi tentang validitas jawabannya.
Ia adalah anak dari keluarga (setidaknya) berkecukupan, pintar, dan lahir dari sebuah negara yang terkenal aman dan damai. Tidak ada huru-hara yang berarti, itu artinya tidak ada yang perlu ditakutkan untuk melanjutkan hidupnya di negara tempat ia belajar merangkak itu. “Semuanya baik-baik saja,” ucapnya yakin.
Sedangkan aku, jujur, aku bingung. Hidup yang kujalani setahun belakangan ini aku rasa tidak jauh demi hasrat dan kesenangan diri belaka. Ingin rasanya membangun Indonesia, namun rasanya mimpi itu masih jauh. Orang-orang hanya bisa iri dan memaki. Tidak sedikit yang nyinyir tentang absennya aku di Indonesia, tapi masih berbicara mengenai Indonesia.
“Tidak peduli apa yang akan aku lakukan, pasti akan ada yang suka dan tidak suka,” ucapku kepada perempuan yang sedari tadi duduk berhadapan denganku. Ia hanya mengangguk tanda setuju. Karena bagiku, menjadi seorang yang lahir dan tumbuh di Indonesia, punya sisi dilematis tentang bagaimana seharusnya ia bersikap, terlebih jika ia menganut agama mayoritas.
“Tidak sedikit hal-hal yang tidak masuk akal terjadi belakangan ini, menggabungkan dua hal yang sebenarnya tidak bisa disatukan, you know, politik, ekonomi, agama, budaya, akan sangat kompleks dan kacau jadinya, dan lagi hasilnya sudah pasti tidak bisa menyenangkan semua pihak,” beberku.
“Banyak yang berkoar, sumpah serapah, mencaci maki satu sama lain, yang sebenarnya semakin memperkeruh suasana. Belum lagi omongan-omongan yang keluar dari para pemuka agama yang diyakini kemuliaannya. Mungkin ada banyak yang mempertanyakan agamaku serta menyangsikan kecintaanku akan Indonesia, tapi satu hal yang pasti, aku masih peduli,” ucapku sembari membuang pandanganku ke langit-langit keemasan malam itu.
(Akhir Part 2)