Fenomena Bunuh Diri & Suicidal Thoughts Kaum Millenials
Sekitar sepekan yang lalu, saya melakukan polling di Instagram mengenai alasan mereka tetap bertahan hidup. Pertanyaan yang cukup menggelitik nan menarik pikir saya.
Baca juga: Alasan Tetap Bertahan Hidup Tanpa Harus Bunuh Diri
Bukan tanpa alasan, saya menginisiasi pertanyaan tersebut lantaran banyaknya kasus bunuh diri di Indonesia. Dalam satu bulan, tak kurang dari empat kasus bunuh diri terjadi. Belum termasuk kasus-kasus yang tidak di-blow up media.
Beberapa kasus di antaranya, adik kandung Wakil Gubernur Jatim terpilih Emil Dardak, mahasiswa ITB, yang diduga kuat bunuh diri di kamar indekosnya. Dua mahasiswa semester akhir UNPAD juga ditemukan meninggal bunuh diri. Hingga, seorang mahasiswa ITS tahun kedua yang ditemukan meninggal gantung diri di apartemennya. Kejadian-kejadian ini terjadi dalam waktu yang sangat berdekatan.
Data ini masih belum termasuk golongan orang-orang yang memiliki suicidal thoughts atau pikiran-pikiran yang terus-menerus mendorong mereka untuk melakukan bunuh diri. Tidak sedikit yang terganggu mentalnya hingga merenggut kemampuan mereka untuk berpikir jernih. Belum lagi menyoal tidak ada dukungan, besar kemungkinan golongan ini juga akan berujung pada keputusan akhir untuk bunuh diri.
Namun, fakta menariknya, kasus bunuh diri ini mayoritas dilakukan oleh generasi muda dalam rentang usia 17-30 tahun. Padahal, di usia itu lah masa-masa produktif kaum millenials. Lalu muncul lah pertanyaan menarik tentang apa sebenarnya alasan mereka punya pikiran hingga nekat bunuh diri.
Dilihat dari kacamata agama, aksi bunuh diri sangat ditentang. Setahu saya, tidak ada dalil yang membenarkan aksi menyudahi hidup secara sepihak ini. Tak peduli sekeras, se-menyedihkan, atau se-menyakitkan apapun kehidupan. Tetap saja yang namanya bunuh diri adalah tidak dibenarkan.
Ada banyak alasan di balik seseorang akhirnya memutuskan bunuh diri. Dilihat dari kasus-kasus terdahulu, ada yang bunuh diri karena tekanan akademik di perkuliahan, menderita penyakit yang tak ada obatnya, hingga konflik asmara maupun internal keluarga.
Kalau dipikir-pikir, kita yang masih hidup tidak sepatutnya merundung orang-orang tersebut. Karena kita tidak tahu persis masalah apa yang bersarang di diri mereka. Namun faktanya, tidak sedikit yang menyalahkan pelaku aksi bunuh diri, salah satu alasannya adalah karena dianggap kurangnya iman.
Really?
It is important to note that no single theory can explain the complexities of suicide or suicidal behaviour.
Jadi apapun asumsi kita, kita tidak akan bisa seratus persen menebak apa yang terjadi. Bahkan orang-orang terdekatnya sendiri. Selain masalah yang nampak, ada beragam masalah tak kasat mata lain yang memicu aksi ini.
Saya pribadi pernah memiliki pikiran untuk mengakhiri kehidupan dengan cara bunuh diri. Tapi itu dulu. Dan penyebabnya pun kompleks. Tidak hanya tekanan pribadi, kondisi lingkungan sekitar seperti perlakuan teman, keluarga, juga turut menaikan persentasi untuk bunuh diri.
Walau secara raga sehat, belum tentu batin di dalamnya sedang dalam kondisi prima. Inilah yang dinamakan sakit tak berdarah sebenarnya. Kendati sudah banyak orang-orang yang mendukung pengidap depresi dan survivor mental illness lainnya, namun faktanya di lapangan masih sedikit yang mau membantu proses penyembuhannya. Alih-alih mencoba mendengarkan keluh kesah, malah disuruh cepat-cepat bertaubat dan banyak berdoa.
Apa sebetulnya alasan seseorang bunuh diri?
Tidak ada yang tahu persis. Sekalipun seseorang tersebut meninggalkan surat wasiat, belum tentu apa yang ditulis sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut saya pribadi, seringkali bunuh diri bukanlah ditujukkan untuk sekadar menghilangkan nyawa dan kabur dari masalah. Melainkan untuk ‘show off’ kepada orang-orang terdekat bahwasanya si pelaku benar-benar membuktikan perkataannya. Juga untuk menimbulkan rasa bersalah orang lain sepeninggal si pelaku.
Di samping rasa sakit yang benar-benar tidak bisa dikira, bunuh diri dengan gantung diri dianggap cara terbaik. Padahal, dari berbagai sumber yang saya baca, seseorang butuh setidaknya 30 menit sebelum benar-benar kehabisan nafas lalu meninggal. Berbeda jika bunuh diri dilakukan dengan menembakkan peluru tepat di jantung atau kepala yang langsung menghentikan aliran darah dan kinerja saraf lain.
Nah, jika ada banyak alasan orang-orang memilih untuk bunuh diri. Lalu apa saja alasan orang-orang untuk tetap hidup dan melanjutkan hidup? Ini akan dibahas di postingan selanjutnya.
One Comment
Bang Day
Prihatin yah. Justru menimpa orang2 yg terdidik dan dari segi ekonomi cukup baik