Stories,  Ulasan

How To Live Like Swedes

Di Indonesia, Swedia terkenal dengan salah satu pemain sepakbola dunia, Ibrahimović. Selain itu, Swedia juga dikenal sebagai negara asal toko retail terbesar yang tersebar di berbagai belahan dunia, yakni IKEA. Belakangan, Swedia juga terkenal karena berada di jajaran teratas sebagai negara paling bahagia di seluruh dunia. Selain fakta-fakta tadi, ada satu lagi fakta yang cukup mendeskripsikan bagaimana orang-orang di sini menjalani hidup mereka.

Selama hampir enam bulan tinggal di Swedia, saya mulai menyadari bahwa orang-orang lokal di sini cukup unik. Termasuk juga sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat mereka.

Salah satu slide dari staff International Office saat pemaparan mengenai Swedish Culture di Arrival Day

Perbincangan saya dengan seorang teman berkebangsaan Swiss, sebut saja Emilia, menjadi titik awal observasi saya terhadap orang-orang di sini. Catch-up dibalut ‘Fika’ dengan Emilia ini adalah hasil undangan informal saya seminggu sebelumnya. Meskipun kita berdua bukanlah orang Swedia, Fika rasanya sudah menjadi tradisi bagi siapapun yang berkediaman di sini. Dalam bahasa Swedia, Fika sederhananya dimaknai sebagai tradisi istirahat di sela-sela pekerjaan atau rutinitas lain sambil ditemani kopi, teh, atau camilan lainnya.

Dalam tradisi Fika ini juga, haram hukumnya untuk diseling mengerjakan tugas apalagi sampai membuka laptop di atas meja. Fika adalah momen di mana orang-orang melupakan sejenak hidup yang mungkin terasa sesak dan menikmati momen yang ada.

“Bagaimana kuliahnya?” tanyanya selepas menyeruput chai latte dengan sedikit busa di bagian atasnya. Kali ini, ternyata kita berdua sama-sama melanggar hal yang tidak boleh dilakukan saat Fika tadi. Kita berdua berkilah kalau ini mungkin bukanlah Fika, sebab kita tidak memesan cinnamon roll atau kanelbullar yang menjadi signature snack saat Fika.

“Cukup melelahkan, tapi tentu ada sisi enaknya yang patut disyukuri,” jawab saya.

Rasa syukur yang saya maksud merujuk pada bagaimana sistem pendidikan di Swedia yang cukup berbeda dari yang pernah saya jalani sebelumnya. Saya beranggapan kalau universitas di Swedia, setidaknya di Lund, tidak menuntut banyak dari mahasiswanya. Ini terbilang baru bagi saya yang sebelumnya harus taat dan beradaptasi dengan sistem pendidikan di Skotlandia.

Perbedaan mencolok dari keduanya misalnya, di Skotlandia, seringkali mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan soal berjenis open-ended. Para dosennya cenderung berekspektasi tinggi agar mahasiswa tidak hanya sekadar lulus, tapi juga dapat memberikan perspektif baru yang tidak biasa, tidak terbatas namun tetap sejalan dengan kaidah keilmuan. Sedangkan di Swedia malah sebaliknya. Mayoritas tugas bahkan tidak ada penilaian berupa angka, melainkan hanya keterangan passed/lulus atau resubmission required saja. Jadi kalaupun kita masih dianggap belum lulus di salah satu tugas, kita masih diperkenankan untuk memperbaikinya lagi di lain kesempatan.

Ada istilah populer yang menggambarkan fenomena ini. Orang-orang Swedia sering menyebutnya dengan Lagom. Istilah ini memiliki makna cukup, sedang-sedang saja, tidak berlebihan, dan tidak kekurangan. Lagom ini bisa dibilang adalah sebuah prinsip menjalani hidup kebanyakan orang Swedia. Karenanya, di setiap sesi perkenalan budaya Swedia kepada mahasiswa internasional, prinsip Lagom ini tidak pernah ketinggalan untuk dijadikan bahasan. Sebab, sedikit banyak ini akan berdampak ke aspek-aspek kehidupan mahasiswa lainnya, contohnya seperti yang saya jelaskan sebelumnya mengenai aspek penilaian akademik.

Orang-orang yang berpedoman dengan prinsip Lagom, mereka akan menjunjung tinggi nilai kesederhanaan dalam setiap tata cara berperilaku dan menjalani hidup. Tidak heran kalau jiwa-jiwa kompetitif di Swedia ini tidak begitu menonjol. Akibatnya, setiap mahasiswa hanya menjalankan kewajibannya tanpa harus berusaha menjadi lebih baik daripada teman-temannya yang lain.

“Bagaimana dengan teman-teman barumu di sini?” tanya saya kepada Emilia dalam usahanya untuk menggali lebih dalam mengenai kehidupan orang dewasa yang sering pelik ini.

“Memang cukup sulit untuk bisa akrab dengan orang lokal sini, karenanya aku tidak memaksakan untuk harus memiliki teman lokal,” ujarnya, sembari menaruh kembali croissant yang telah dilahapnya setengah itu ke meja kecil di antara kami.

Jawabannya masuk akal menurut saya. Bila memang hubungan antar manusia ini tidak bersambut dengan baik, mengapa harus memaksakan agar menjadi dekat?

Seyogyanya, merasa cukup dengan apa yang kita miliki adalah kunci ketenangan jiwa. Sebab, mengejar hal-hal yang di luar jangkauan kita hanya akan menambah beban dan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak perlu ada.


English Version

In Indonesia, Sweden is well-known for one of the world’s football stars, Ibrahimović. Additionally, Sweden is recognized as the home of the largest retail store, IKEA, which is spread across various parts of the world. Recently, Sweden has also gained fame for being consistently ranked as one of the happiest countries in the world. Beyond these facts, there is another aspect that quite accurately describes how people here live their lives.

After living in Sweden for nearly six months, I started noticing that the locals here are quite unique. This includes the system that governs their societal life.

A conversation with a Swiss friend, let’s call her Emilia, marked the beginning of my observation of the people here. A catch-up session wrapped in ‘Fika’ with Emilia resulted from an informal invitation I threw a week prior. Although neither of us are Swedish, Fika seems to have become a tradition for anyone residing here. In Swedish, Fika simply means a break amidst work or other routines, accompanied by coffee, tea, or other snacks.

During this Fika tradition, it is forbidden to work or even open a laptop on the table. Fika is a moment where people forget their possibly stressful lives for a while and enjoy the present moment.

“How’s your study going?” she asked after sipping her chai latte with a bit of foam on top. This time, we both broke the rule of not discussing the study during Fika. We both joked that this might not be a true Fika since we didn’t order cinnamon rolls or kanelbullar, which is the signature snack during Fika.

“Quite exhausting, but there are definitely some good parts to be grateful for,” I replied.

The gratitude I mentioned refers to the educational system in Sweden, which is quite different from what I had experienced before. I found that universities in Sweden, at least in Lund, do not demand much from their students. This was new to me, having previously had to adapt to the rigorous education system in Scotland.

A notable difference between the two is that in Scotland, students are often required to solve open-ended questions. Professors tend to have high expectations, wanting students not just to pass, but to provide new and unusual perspectives, unlimited yet still aligned with academic principles. In Sweden, however, it’s quite the opposite. Most assignments don’t even have numerical grades, but rather just a pass/fail or resubmission required note. So, even if you don’t pass a task, you are allowed to improve it at another time.

There is a popular term that describes this phenomenon. The Swedes often refer to it as Lagom. This term means just enough, in moderation, neither too much nor too little. Lagom can be considered a principle by which most Swedes live their lives. Therefore, in every introduction session about Swedish culture to international students, the Lagom principle is always a key topic. This is because it affects many aspects of students’ lives, such as the academic grading system I mentioned earlier.

People who adhere to the Lagom principle highly value simplicity in their behavior and lifestyle. It’s no wonder that competitive spirits in Sweden are not so prominent. As a result, each student only does their duty without striving to be better than their peers.

“How about your new friends here?” I asked Emilia, trying to delve deeper into the often complicated adult life.

“It’s quite difficult to get close to the locals here, so I don’t force myself to have local friends,” she replied, placing her half-eaten croissant back on the small table between us.

Her answer made sense to me. If human relationships are not reciprocated well, why force them to be close?

Essentially, feeling content with what we have is the key to peace of mind. Chasing things beyond our reach only adds to our burdens and creates problems that shouldn’t exist in the first place.

Leave a Reply

%d bloggers like this: