Stories

Kehilangan Senyum

Sudah terlampau lama rasanya saya sudah tidak bisa merasakan aroma kamar yang hangat. Wewangian levender yang saban malamnya saya gunakan bersama, tidak lagi menyemburkan wangi yang diharapkan. Pun, kamar yang tadinya sempit rasa-rasanya meluas berkali-kali lipat.

Tidak ada lagi alasan untuk tetap tersenyum. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan tempat bercerita kecuali langit-langit putih yang diam tanpa mampu bereaksi apapun terhadap kesedihan saya. Kenangan sekecil apapun, rasanya enggan untuk beranjak dari tempat ini, seolah semuanya sudah terpatri abadi.

Padahal, pada kenyataannya, tidak ada yang akan bisa abadi, semuanya bisa saja meninggalkan pergi dengan atau tanpa jejak, dan dengan atau tanpa salam sekalipun.

Kelemahan saya adalah kesulitan melupakan. Sudah beberapa bulan terakhir ini, hidup rasanya seperti jalan di tempat. Fokus saya sudahh lemah. Tidak ada lagi ambisi. Tidak ada lagi tujuan hidup pasti. Peran saya hanya bangun, bekerja, pulang, tidur, lalu kembali seperti itu siklusnya.

Senang, sedih, hingga berulang kali kecewa, menjadi pelengkap saya menjalani sisa hidup ini. Mungkin saya terkesan egois karena menuntut untuk tidak ditinggalkan. Tapi kesedihan yang saya rasakan sekarang pun bisa dibilang egois. Kenapa harus sekarang? Kenapa dengan cara seperti ini? Kenapa tidak ada kesempatan kedua

Saya paham. Barangkali ‘dia’ pun berpikiran serupa.

Ribuan pertanyaan acak selalu memenuhi kepala saya yang kemudian tertahan oleh mulut yang membisu. Yang sebagian sudah tersampaikan, namun sebagian lainnya harus dikubur dalam-dalam agar saya tidak masuk jurang kesedihan yang teramat dalam dengan segala ekspetasi saya.

Kata orang-orang, perjalanan hidup saya masih panjang. Betul, saya pun tidak akan menyangkal itu. Namun, proses menyusun kembali hati yang tadinya rusak, seolah memakan waktu selamanya. Proses mengikhlaskan hingga mampu berdiri di kaki sendiri tidak semudah teori tentang ‘move on’ yang tersebar di banyak media. Entah, sudah berapa buku, artikel, video hingga podcast yang saya habiskan untuk sekadar meredakan rasa sakit ini. Beberapa ada yang sedikit membantu, sebagian besar lain, hanya kembali membuka memori akan kenangan-kenangan masa lalu yang berujung pada tetesan air mata dalam diam.

Saya takut. Entah, ada banyak sekali ketakutan yang menyelimuti kehidupan saya setelah kejadian itu. Takut akan diri saya sendiri. Takut ‘dia’ menjadi seseorang yang tak lagi saya kenal. Hingga ketakutan akan menjadi seperti ini selamanya dan kemudian mati rasa.

Satu hari yang mengubah segalanya. Hari yang mengubah cara saya melihat dunia dan masa depan. Hari yang membuat saya tidak percaya lagi dengan seseorang.

Terima kasih banyak telah pernah hadir. Walaupun tidak selamanya, setidaknya saya pernah memiliki tangan yang bisa digenggam saat merasa sendiri. Dan tubuh yang bisa dipeluk saat saya tidak tahu harus mengadu kemana lagi.

Cara saya menyayangi ‘dia’ mungkin tidak biasa dan yang yang bukan didamba. Bukan dengan bunga, cokelat, atau perhatian yang berlebih. Tapi dengan cara saya untuk tetap ada dan menjaga. Maaf jika belum bisa menjadi seseorang yang sempurna untuk seseorang yang sebelumnya sudah sempurna di hati saya.

Seandainya saya bisa memutar waktu, akan banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan bersama. Tidak masalah saya kehilangan senyum hari ini. Semoga ada masa di mana kita bisa bersama lagi.

Life is full of sweet mistakes
And love’s an honest one to make
Time leaves no fruit on the tree
But you’re gonna live forever in me
I guarantee, it’s just meant to be

(You’re Gonna Live Forever in Me – John Mayer)

I wanna come back stronger,
But it seems harder,

Friday, 28th January 2022,
Bali, Indonesia

4 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: