Kompromi Quater-life Crisis, Pandemi dan Mimpi
Sudah cukup sering bukan mendengar dua istilah di atas?
Rasanya sudah cukup lama saya ingin mencoba membahas dua hal ini. Namun tenaga dan pikiran belum cukup jernih untuk diajak berkompromi dengan hal-hal yang menyangkut produktivitas. Terhitung Januari 2021 ini, sudah 1 Tahun 4 Bulan saya bekerja dan menetap sendiri di DKI Jakarta. Selama itu pula, rasa gelisah dan beragam ketidakpastian dalam hidup saya semakin menjadi-jadi.
Sebagai seseorang yang seringkali merencakan mimpi, saya sudah berusaha mem-breakdown ketidakpastian dan kegundahan yang menyeliputi hari-hari saya. Usut punya usut, apa yang saya rasakan dan detailkan tadi memang lumrah dirasakan oleh orang-orang yang sebaya dengan saya.
Mengutip definisi dari Wikipedia:
Quarter-life Crisis is a crisis “involving anxiety over the direction and quality of one’s life” which is most commonly experienced in a period ranging from a person’s early twenties up to their mid-thirties.
Seketika kepala saya mengangguk pelan tanda setuju.
Ternyata memang benar, kehidupan pasca kampus jauh lebih menantang daripada sebatas mengerjakan tugas akhir.
Rupanya ketakutan, ketidakjelasan, ketidakpastian, mengenai hidup ini memang nyata adanya dan baru dimulai pasca kehidupan perkuliahan.
Baca juga: Perjuangan Bertahan Hidup Mahasiswa Bidikmisi di Surabaya
Prepare to be prepared
Seperti yang saya utarakan di atas, sebelum mengalami yang namanya quarter-life crisis ini, saya sudah terlebih dahulu memetakan visi, misi, hingga langkah-langkah kecil apa yang akan saya ambil dalam perjalanan hidup saya.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya kembali membuka catatakan akan visi misi tadi, apakah memang benar ini yang saya inginkan? apakah visi misi ini masih relevan? bagaimana kalau saya tidak layak? bagaimana jika saya tidak mampu?
Pertanyaan-pertanyaan serupa sering kali bersarang di kepala saya.
Selain pertimbangan keinginan serta kebutuhan personal, ada hal lain yang turut memperparah proses pengambilan keputusan, yakni keluarga.
Rasanya egois kalau hanya mementingkan diri sendiri. Tapi inilah kenyataannya. Sebagai seorang yang sudah merantau lebih dari 7 tahun, memang lebih dari 98% proses pengambilan keputusan ada di tangan saya sendiri.
Hingga kini saatnya, saat orang tua sudah menua, pun saudara yang sudah tidak lagi muda, rasa-rasanya ada waktu dimana saya harus bisa berkompromi dengan keinginan pribadi serta visi misi tadi,
Baca juga: A Recent Graduate’s Thought
Pandemic made it even worse
Bertepatan dengan merebaknya virus covid-19 pada Maret 2020 lalu di Indonesia, segala-galanya menjadi semakin sulit. Proses perencanaan yang sebelumnya sudah dilakukan, mau tidak mau, harus ditata lagi sedemikian rupa.
Era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity) menjadi semakin nyata. Tidak hanya kesehatan dan ekonomi yang terdampak, melainkan waktu.
Saya menjadi semakin khawatir akhir-akhir ini. Pandemi yang kian hari kian meninggi kasus aktifnya seolah-olah sedang membeli waktu yang kita punya.
Mahasiswa baru tidak lagi bisa merasakan euforia orientasi, pun para wisudawan tidak lagi bisa bersuka cita atas jerih payahnya selama ini.
Lalu, ada lagi orang-orang yang terhalang batasan umur sebagai prasyarat mendaftar sesuatu dan berujung harus mengubur dalam-dalam mimpinya.
Dan oh, para calon jamaah haji dan umroh yang tidak sempat mendapatkan haknya, setelah bayar dan menunggu bertahun-tahun, namun sudah terlebih dulu dipanggil yang maha kuasa.
Baca juga: Dilema Menjadi Indonesia Seutuhnya
Saat ini pun, saya masih dalam tahap menata kembali visi misi dan mimpi-mimpi sebelumnya. Kendati sulit dan menjadi terlambat implementasinya, setidaknya visi misi dan mimpi-mimpi tersebut tidak ikut terlelap dalam tidur yang berkepanjangan.
Dan satu hal yang pasti, sepertinya memang kita harus belajar untuk legowo jika suatu ketika kita mendapati mimpi yang tertunda atau bahkan hilang selamanya.
Semoga semuanya akan kembali normal. Segera.
Finger crossed.
5 Comments
Alris
Benar. Gara-gara pandemi covid19 segala perencanaan jadi amburadul.
Semoga bencana ini cepat berlalu.
Kalau boleh kontak, bisa jalan silaturahmi. Saya juga di Jakarta.
Salam sehat selalu.
Muhammad Ridha Tantowi
Amiin. Iya mas saya domisili di jakarta saat ini, boleh kalau sedang senggang waktunya.
arip
Entah ini namanya putus apa, tapi pas udah ngelewatin fase quarter life crisis, kayaknya jadi mudah buat kompromi merelakan mimpi dan idealisme.
Muhammad Ridha Tantowi
Menurut saya memang waktu yang menyembuhkan mas, time really does! Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman, realitas kehidupan jadi semakin nyata, dari situ juga kita bisa mulai bisa berkompromi perihal mimpi.
Pingback: