Membaca Karakteristik Arsitektur Nusantara Serupa Boga
Banyak orang mengira bahwasanya boga yang jika di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti makanan; masakan; hidangan; santapan, sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan arsitektur. Terlebih, untuk memiliki peranan penting dalam perkembangan arsitektur di nusantara. Padahal, jika ditilik lebih jauh, boga memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan arsitektur nusantara yang berkembang di Indonesia.
Seperti halnya tentang keberagaman jenis makanan yang ada di Indonesia. Terdapat ribuan atau bahkan mungkin ratusan ribu jenis makanan yang tersebar dari sabang sampai marauke yang akhirnya menjadi ciri khas daerah masing-masing. Dengan ragam modifikasi cita rasa masing-masing. Begitu pula dengan arsitektur. Gaya arsitektur tumbuh dan berkembang seiring proses hidup adat dan budaya setempat yang akhirnya melahirkan keunikan tersendiri pada karya arsitekturnya.
Baca Juga: Perumahan, Permukiman, dan Perkotaan dalam Perspektif Arsitektural
Boga dapat pula diartikan sebagai ilmu dan seni tentang mengolah makanan dan minuman dengan mempertimbangkan kebudayaan, asal-usul makanan, keindahan dalam penyajian, rasa dan kemewahan. Senada dengan arsitektur yang tidak semata mengedepankan sisi estetikanya saja. Melainkan juga tentang kepribadian, kehidupan sosial, hingga perilaku penggunanya. Dalam artian, cakupan boga dan arsitektur sama-sama kompleks yang tidak sekedar jangkauan visual saja.
Oleh karenanya, dapat pula dikatakan bahwa makanan telah mengalami pergerakan fungsi dari dulunya sebagai kebutuhan primer saja, namun sekarang menjadi sesuatu yang bernilai simbolik. Tidak hanya sekedar sesuatu yang berfungsi membuat pemakannya menjadi kenyang dan menyudahi rasa lapar. Namun, lebih kepada bagaimana seseorang bisa merasakan esensi memakan makanan dengan berbagai indikator penilaian yang komplit. Tidak hanya enak, tapi juga dengan penampilan yang menarik, memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi tubuh, serta mampu membangkitkan antusiasme orang-orang tuk memakannya.
Ragam boga Indonesia adalah salah satu tradisi kuliner terkaya di dunia dan penuh dengan cita rasa yang kuat di lidah. Terbukti, rendang, olahan daging asal Padang, Sumatera Barat, mampu menduduki posisi teratas dalam jajaran makanan terlezat di dunia. Karenanya, setiap makanan memiliki rasa dan makna yang mendalam dengan berlandaskan filosofi budaya setempat. Dimana, para nenek moyang dulu cenderung tetap mempertahankan resep secara turun temurun demi terjaganya kandungan rasa serta kesakralan makanan. Ini rupanya juga berlaku terhadap produk arsitektur nusantara, Indonesia.
Baca Juga: 10 Jurusan Arsitektur Terbaik di Indonesia
Contoh umumnya adalah terhadap rumah adat jawa. Misalnya saja sebuah pendopo. Ia konon memiliki ruangan sakral yang entah darimana asalnya menjadi seolah-olah sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sehingga, tidak semua orang dapat mengakses ruang tersebut tanpa adanya ikatan dan biasanya hanya bisa diakses saat ritual tertentu saja. Seakan terdapat roh dan kekuatan magis yang melarang sembarang orang untuk mendekat ke ruang tersebut. Senada dengan yang diutarankan oleh Heidegger, konsep being-in-the-world mampu menjelaskan bagaimana ‘kesakralan’ tersebut ada.
Kesimpulannya, meski boga hadir sebagai produk asli nusantara tentu tidak lepas dari berbagai penyesuaian yang ada. Terlebih, setelah gencarnya arus globalisasi yang sekarang melanda seluruh dunia, khususnya Indonesia. Makanan khas daerah A bisa dengan cepat dikonsumsi di daerah B dengan melakukan berbagai penyesuaian terhadap lidah setempat. Begitu pula dengan arsitektur, kini, ada beberapa arsitektur nusantara yang mungkin sudah tidak relavan lagi. Sebabnya, perlu dilakukan re-touching agar sesuai kondisi dan tuntutan kekinian jenis masyarakat yang lebih plural.