Stories

Membaca Mimpi dari Ujung Benua Eropa

Sudah teramat sering gue berbicara soal mimpi. Cerita tentang kegagalan, penolakan, malu, keluh kesah, hingga keberhasilan sudah pernah gue tuliskan sebagai memori. Tentu tidak semuanya, tapi sebagian besar pengalaman gue bergulat dengan mimpi telah dibagikan di blog ini. Harapannya, agar kelak cerita manis sebuah pencapaian tidak hanya sebatas foto bahagia yang terpampang di Instagram atau Facebook saja. Melainkan ada perjuangan keras yang dibalut tetes keringat di balik pencapaian tersebut.

Kota Porto, Portugal saat musim dingin

Perjalanan dari kampus menuju apartemen kali ini terasa lama. Selain karena cuaca Kota Porto memang sedang tidak bersahabat, rupanya ingatan akan memori di masa lampau cukup membuat langkah kaki ini melambat. Tidak henti-henti gue mengucap syukur bagaimana skenario Tuhan membawa gue ke titik paling ujung Benua Eropa ini. Terlahir dari orang tua yang hanya mengenyam pendidikan dasar saja tidak menjadikan anak-anaknya bernasib sama. Dari situ lah gue percaya akan kekuatan mimpi.


Menuju usia belasan, gue sama sekali gak berani bermimpi. Gue lahir di sebuah lingkungan di mana impian terlihat sangatlah jauh dan mahal. Untuk belajar bahasa inggris saja misalnya, gue harus menunggu momen ketika masuk SMP di luar kota. Namun dari situ, gue mulai kenal beragam karakter orang dengan berbagai latar belakang, termasuk mengenali diri gue sendiri.

Di tengah usia belasan, gue punya sederet mimpi. Dari mulai mimpi sederhana untuk punya jam tangan, hingga mimpi besar seperti menapakkan kaki di putihnya salju. Sederhananya, gue mendefinisikan mimpi sebagai pesawat kertas yang bertugas terbang menuju titik tertinggi: kebahagiaan. Tanpa diterbangkan, tidak mungkin ada kebahagiaan.

Menginjak usia kepala dua, gue mulai sadar bahwasanya kebahagiaan tidak melulu soal pencapaian pribadi. Melihat sekeliling, ada banyak yang tidak mampu mengenyam pendidikan, menggantungkan hidup di bawah kolong jembatan, hingga yang masih mengais sisa-sisa makanan di tong sampah.

Ketika dihadapkan kondisi seperti ini, kegagalan demi kegagalan mewujudkan mimpi jadi tidak ada apa-apanya. Karena kebahagiaan lagi-lagi tidak akan menghampiri, tapi harus didaki. Di sini gue belajar arti syukur dan memantaskan diri.

Menuju usia kepala tiga, rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan ketimbang melihat orang tua, saudara dan kerabat tersenyum tatkala melihat ‘bocah ingusan’ mereka telah beranjak dewasa. Tentunya dengan gapaian mimpi-mimpi gue, keluarga, dan orang-orang yang turut menaruh harapan. Tidak jauh-jauh dari sumbangsih apa yang bisa gue berikan kepada orang-orang di sekeliling dan khalayak ramai.

Menuju usia kepala empat, kendati pun usia tidak akan selalu bisa sama, toh definisi bahagia tetap sama, hanya saja perwujudannya yang berbeda. Raut wajah mungkin akan mulai mengerut. Tenaga tidak lagi sekuat dulu. Semangat juga bisa saja lesu. Tapi akan selalu ada cara guna tetap kokoh di titik kebahagiaan.


Com licença,” ucap seorang ibu paruh baya ketika ia merasa laju langkah gue terlampau lambat baginya. Sebuah kebetulan, namun gue percaya ini adalah skenario yang telah disiapkan seraya menyadarkan gue akan lamunan sore ini. Bukan, ini bukan mimpi, ini nyata. Semoga selamanya menginspirasi.

Salah satu mimpi yang akhirnya terwujud di Warsaw, Poland

One Comment

Leave a Reply

%d bloggers like this: