Opini

Menebas Problematika Perbatasan

Berada di zona pembatas dua negara rasanya seperti di awang-awang. Daerah yang menjadi poros kehidupan rakyat kecil menjadi tak lagi terhiraukan. Jangankan mengharapkan mobil mewah senilai 1 milyar per unitnya seperti usulan DPRD Pekanbaru bagi elit politiknya, untuk makan saja sangat susah. Itulah mereka yang hidup di perbatasan. Berbaris menjaga garis NKRI di mata para tetangga yang seringkali seperti tak terjamah oleh pemerintah yang semestinya bertanggung jawab.

Sebagai contoh, jika kita menilik Kab.Nunukan, di Perbatasan Kalimantan Utara yang merupakan hasil pemekaran dari Prov Kalimantan Timur sangat memprihatinkan. Dulu, sebelum ada wacana pencabutan BBM bersubsidi harganya saja mencapai Rp.22.000/liter jika dipasok dari daerah lain di Kalimantan. Namun, jika dari negara tetangga Malaysia misalnya, BBM tersebut bisa didapat hanya dengan Rp.12.000/liter. Ini lantaran jarak tempuh dengan negara tetangga lebih dekat dibandingkan dengan pendistribusian dari daerah lain di kalimantan.

Tak melulu yang berbatasan dengan Malaysia, masih ada kerabat lain yang hidupnya juga dilema anara bergantung pada negara tetangga atau hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Di bagian selatan ada Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan timor leste. Di bagian Timur yakni Provinsi Papua yang berbatasan langsung dengan papua nugini misalnya.

Problematika kkeeprihatinan daerah perbatasan bukan hanya pada basis moneter saja, melainkan juga pada keseluruhan aspek yang menjadi tolak ukur kehidupan sejahtera suatu bangsa. Pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur juga menjadi sektor yang tidak boleh dikesampingkan. Dari berlimpahnya sumber daya alam yang indonesia punya, mayoritas adalah milik mereka yang di perbatasan.

Di sektor pariwisata, Nusa Tenggara Tmur unggul dengan ssegala potensi keindahan alamnya untuk biisa menyejahterakan rakyatnya. Di sektor pertambangan, kalimantan utara punya daerah emas yang mencakup mineral dan batu bara (minerba), pun kelapa sawit. Namun faktanya adalah, disadur dari Harian Kompas, Produk Domesti Bruto (PDB) sebesar Rp.650 milyar hanya sepersepuluhnya saja yang kembali menjadi kas daerah. Ini artinya lebih banyak pendapatan yang masuk ke kantong pribadi para pengusaha pertambangan dibanding uang untuk perbaikan segala aspek kehidupan masyarakat perbatasan.

Kesemrawutan ini disinyalir juga karena gagalnya pengelolaan daerah perbatasan oleh birokrasi daerah setempat. Perubahan sistem pengelolaan dari pemerintah pusat (sentralisasi) menjadi tanggungan pemerintah daerah (desentralisasi) tak menjamin bahwasanya tata pengelolaan menjadi sistematis dan terstruktur. Kesan akan kehidupan terisolasi, jauh dari hiruk pikuk keramaian, kurangnya infrastruktur penunjang, juga harga-harga berang yang melonjak tajam seolah menjadi bayang-bayang gelap masyarakat perbatasan dulu dan kini.

Masyarakat perbatasan merupakan identitas bangsa Indonesia di mata para negara tetangga. Terus berpijak sebagai pencerminan kondisi bangsa atas sudut pandang bangsa lain. Oleh karenanya, kita patut mendukung pergerakan pemerataan daerah oleh pemerintah. Presiden terpilih, Jokowi, hanyalah seorang manusia biasa yang tidak bisa setiap saat menilik setiap sudut keberagaman Indonesia ini. Sebagai masyarakat, mestinya kita turut ambil bagian demi percepatan mengejar ketertinggalan dari kawasan barat indonesia yang kian tumbuh besar.

Satu ide yang brilian menurut pandangan saya adalah tol laut yang dicetuskan oleh Jokowi-JK di awal masa pemerintahannya. Dengan tol laut, pendistribusian sistem logistik akan menjadi mudah dan murah. Sebab, kapal pengangkut akan berputar secara periodik mengitari setiap daerah yang sulit terjangkau via daratan dari satu pulau ke pulau lainnya di indonesia, seperti halnya daerah perbatasan.

Di samping itu semua, isu korupsi, penyalah gunaan APBD, dan tingkah kaum elite lainnnya juga menjadi permalahan akut yang harus ditebas habis muaranya. Tidak ada lagi kata kaya untuuk kepentingan diri sendiri. Indonesia perlu berbenah demi keberlangsungan hidup yang hakiki di bumi pertiwi ini. Teruntuk mereka yang terisolasi, kaum perbatasan.

Muhammad Ridha Tantowi

Jurusan Arsitektur 2014

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

 

*Opini ditulis pada Desember 2014

*Bisa jadi terdapat ketidaksesuain dengan sekarang

Leave a Reply

%d bloggers like this: