Arsitektur

Ngapain Jadi Arsitek (?)

Menginjak perkuliahan minggu ke-delapan, gue mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Padahal perkuliahan belum nyampe setengah jalan, tapi sekujur tubuh beserta nyawa gue serasa telah hilang dari raganya. Gampangnya, udah ngerasa capek aja. Usut punya usut, ternyata gue udah tiga bulan di Surabaya, tepatnya sejak awal Juli gue udah berkelimpungan di Kota Pahlawan yang panas nan sumpek ini untuk sebuah tanggung jawab.

Bukan maksud hati gue ga niat kuliah, hanya saja, gue sedang mengalami apa itu yang disebut low-motivation. Akibatnya tugas-tugas yang telah berjajar rapi tak sepenuhnya gue selesaikan dengan maksimal. Buktinya, tugas presentasi Green Architecture hari ini, baru digarap pagi hari saat jam perkuliahan mata kuliah lain. Luar biasa memang gue, tak lupa ditemani Rini dan Eunji, korban student exchange dari Seoul yang telah salah memilih pergi. I salute my own way in studying, hehe.

Belakangan, gue sering melontarkan pertanyaan ke teman-teman di kampus. Ga jauh-jauh dari akademik, singkat, tapi menohok dan mengundang pertanyaan balik ke gue. “Masih mau jadi Arsitek?”, “Lulus nanti masih mau lanjut jadi Arsitek?”, atau pertanyaan yang sedikit menenangkan “Gimana rasanya jadi mahasiswa arsitektur sampai saat ini?”

Respons yang gue dapat seringkali terkesan lucu yang mengundang keryitan kening gue. Tapi mayoritas sependapat lah dengan apa yang gue rasa dan terka-terka. Sekelompok orang-orang yang gue anggap senasib dengan gue. Bukan negative ya, hanya saja, kita seakan ditakdirkan untuk memilih jalan yang sama kemudian di tengah-tengah baru terasa kalau jalannya ternyata serong.

Ada dua kubu, mereka yang masih teguh mempertahankan mimpi mereka dan mereka yang mulai sadar tentang dimana passion mereka sebenarnya. Meskipun sekarang sudah menginjak semester lima, masa dimana perkuliahan tinggal setengah jalan, gue selalu menjumpai orang-orang yang tetap percaya menjadi arsitek bukanlah tujuan utama. Di samping banyak pertanyaan orang-orang ‘awam’ yang selalu melontarkan pertanyaan seperti “Ngapain masuk arsitektur kalau ga jadi arsitek?” dan pertanyaan sejenis lainnya.

Baca juga: 10 Alasan Kamu Harus Masuk Arsitektur ITS

Sebut saja AN, seseorang yang gue kenal serius dan rajin pake banget kalau ngerjain tugas ternyata memilih untuk tidak menjadi arsitek. Obrolan singkat dengannya beberapa waktu lalu seolah menjadi gambaran bahwasanya gue gak sendirian. Ditanya mengenai alasannya, ia menjawab bahwa dunia arsitektur bukanlah apa yang ia minati. Berbeda dengan hal mengerjakan tugas, ujarnya, yang memang dituntut harus dikerjain sebaik mungkin. “Karena sudah tuntutan kita kuliah untuk mendapatkan ilmu,” katanya.

Ada lagi, sebut saja NH, perempuan yang dikenal ulet dan penuh semangat ini juga mempunyai gambaran serupa tentang karier masa depan. Dengan IPK-nya yang mentereng seperti sekarang, tentu tidak menutup kemungkinan kalau di masa depan ia kelak bisa menjadi arsitek top. Ditambah kemampuan manajerial organisasi dan bakat yang dimiliki. Ga segan gue pun menyangsikan kelak ia akan jadi arsitek sukses. Tapi rupanya, ia lebih menikmati pekerjaan lain. Yang entah apa, gue gatau.

Baca juga: Kehidupan Tahun Pertama Seorang Mahasiswa Arsitektur

Ir Purwanita Setijanti, Mantan Ketua Jurusan gue dulu yang sekarang menjabat Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan pernah bilang kalau rasio lulusan arsitektur menjadi arsitek itu kecil. Berkisar hanya 11% yang berhasil jadi seorang arsitek, sedangkan sisanya 89% berprofesi macam-macam. Gak heran, dulu gue ketemu alumni jurusan gue yang kini berprofesi sebagai senior editor di sebuah Media Cetak ternama. Kebetulan gue ketemu beliau saat ia sedang menjadi pemateri jurnalistik untuk Humas ITS di Malang.

Kilas balik, September tahun lalu ketika malam puncak Dies Natalis Emas, gue berkesempatan buat mewawancarai seorang alumni jurusan tercinta. Adalah Lia Afif, seorang perempuan yang dulunya adalah mahasiswa Jurusan Arsitektur ITS namun kini mengejawantahkan dirinya sebagai fashion designer. Ketika lulus pada 1998, ia mengungkapkan, dirinya tidak langsung bertransformasi menjadi seorang perancang busana. Sebab menurutnya, menjadi seorang desainer bukanlah satu hal yang langsung jadi. “Semuanyanya butuh proses,” ucapnya di sela-sela berlangsungnya malam puncak.

Lia, sapaannya, bercerita, suami tidak memperbolehkannya bekerja di bidang yang sangat menguras waktu dan tenaga. Sebab, tugas istri yang hakiki adalah mengurus rumah tangga. Kemudian, ia memutuskan, mengikuti sekolah mode di Susan Budiharjo selama satu tahun. “Saya mengerti kalau tugas istri memang begitu, saya ikut sekolah mode, dan saya belajar banyak disana hingga sering menjuara lomba,” ungkapnya.

Dengan menjadi seorang perancang busana, aku Lia, tidak berarti bekal ilmunya sewaktu menempuh pendidikan di Jurusan Arstitur ITS tak berguna. Ia berpendapat, pada dunia fashion, basic pewarnaan, perancangan, konstruksi, dll masih dipakai hanya saja aplikasinya yang berbeda. “Kebetulan saya spesial busana muslim tematik, jadi tiap rancangan saya selalu ada temanya,” ujar perempuan yang juga anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Jawa Timur ini.

Diakui Lia, merintis sebuah karier secara personal tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha lebih untuk melakukan branding terhadap karya kita. Apalagi disiplin ilmu yang tidak secara jelas berhubungan dengan profesi. “Intinya jangan putus asa! Kita memang tidak bisa tetap di bidang arsitektur. Namun, tetaplah fokus mencari teman, jaringan dan mengolah pola pikir, nanti ilmunya bisa diterapkan ke berbagai hal,” tandasnya.

Satu lagi alumni yang gue kenal meniti karier yang tidak linier dengan bidang studi arsitektur. Adalah Ir Budi Prasojo A19, seorang yang mengaku berprofesi sebagai penilai aset dan bisnis. Dikatakan Budi, ilmu yang sekarang menjadi senjatanya dalam mencari nafkah tersebut berasal dari amerika dan inggris. “Penilai adalah orang yang melakukan penilaian kegiatan, aset, maupun perusahaan,” ungkap pria yang tergabung dalam Masyarakat Profesi PeniIai Indonesia (MAPPI) ini. Kendati, Baik aset yang bisa dipegang seperti properti maupun yang tak teraba seperti saham.

Yang gue dapat, pak Budi ini dulunya ingin jadi arsitek juga, namun katanya nasib berkata lain. “Persentasi sedikitnya lulusan arsitektur yang menjadi arsitek itu benar. Termasuk saya yang mengalami. Jangan berkecil hati, sebab perkuliahan di arsitektur adalah hanya salah satu alat bagaimana kita menjalani hidup setelahnya,” pesannya.

Beda penilai dengan akuntan adalah penilai harus melihat asetnya secara langsung, sedangkan akuntan tidak. “Makanya saya sering traveling ke banyak kota hingga luar negeri juga,” ungkap alumni ITS yang kemudian melanjutkan S2 bidang Ekonomi di UGM ini.

Ada lagi mba anda, seorang redaktur di Jawa Pos yang gue kenal sewaktu magang kemarin, rupanya adalah lulusan Pendidikan Dokter. Gue seketika kaget, kok yo gelem lulusan kedokteran mau kerja di bidang Jurnalistik begini.

Cukup ngomongin orang lain, balik lagi ke pembahasan tentang gue sendiri. Di tahun ketiga ini gue mulai sadar bahwasanya tidak ada mahasiswa yang benar-benar salah jurusan. Yang ada hanyalah kurang tepat. Sebab, dunia perkuliahan tidak sebatas menyerap ilmu pengetahuan dengan duduk di bangku kelas. Lebih dari itu.

Gue sama sekali ga ngerasa kalau gue salah jurusan. Gue suka desain, gambar-menggambar, dan ga suka dengan hitung-hitungan. Sebuah pilihan yang tepat ketika gue memutuskan buat memilih jurusan ini. Menyesal? Ga sama sekali. Hanya saja gue rasa ini adalah momen wajar bagi mahasiswa tahun ketiga. Ketika rasa bosen dan malas kuliah udah mulai melanda. Ditambah pula dengan berbagai kesibukan non-akademik. Sebaliknya, kuliah seolah-olah hanyalah sampingan.

Baca juga: Suka Duka Jadi Mahasiswa Arsitektur

Jadi kesimpulannnya?

Sama halnya dengan anak-anak lain, mimpi itu pasti ada. Hanya saja, tidak semua orang dapat merealisasikannya. Tidak semua orang punya daya tahan yang sama terhadap suatu hal sekalipun dia memiliki passion di sana. Berkaca pada kapabilitas diri, gue yakin gue mampu. Tapi sepertinya gue punya mimpi lain yang seharusnya mampu membawa gue menjadi seorang yang sukses ke depannya.

Tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat. Sekaliber Arsitek Putu Mahendra, sang arsitek ‘autis’ dengan IPK 2.5 pun sempat merasakan pahit getir dalam meniti karier selepas kuliah. Namun ia membuktikan bahwasanya nilai tertulis bukanlah indikator utama dalam menentukan sukses tidaknya seseorang. Pun tentang peminatan dan jenis pekerjaan yang kelak akan kita ampu.

Seperti halnya yang dilakukan Ir Tri Rismaharini, Walikota Surabaya yang merupakan Alumni Arsitektur ITS ini dalam menentukan jalan hidupnya ke depan. Sadar bahwa kualitas visualisasinya kurang dibanding mahasiswa lain di zamannya,  ia pun memilih untuk mengabdikan diri di pemerintahan. Sebelum akhirnya berani memimpin dengan ilmu yang tentu tak bisa didapatkan hanya dengan duduk manis di bangku perkuliahan kelas. Iya, kan?

Baca Juga: Arsitektur VS Fakultas Kedokteran

3 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: