Ocehan

Pekerja Belakang Layar

Matahari sudah beranjak turun. Atmosfer yag tadinya tidak begitu bersahabat seketika mampu bertransformasi menjadi suasana yang dinanti. Tidak melulu mengenai suhu kota Surabaya yang terbilang tinggi itu, bukan. Walau tidak dipungkiri ada secuil faktor pemicunya adalah hal tersebut. Bisa dibilang yang menjadi pokok bahasan adalah sebuah pentas drama.

Tempat dimana orang-orang berbaur, mencari kesenangan, apa saja, sesukanya. Menyaksikan keelokan makhluk tuhan bercakap dan bersandiwara di bawah sorotan spotlight yang sudah tak asing lagi. Raut wajah senang, sedih, letih, marah, kadang sesekali muncul. Pun, teriakan dan sorakan semangat tidak ketinggalan didengungkan.

Lantas, apakah saya sedang menonton sebuah pentas drama? Tidak. Saya sama sekali tidak sedang menonton pertunjukan apapun. Deskripsi singkat di atas hanyalah sebuah perumpamaan yang saya karang. Entah tepat atau tidak, mewakili atau tidak, setidaknya pokok bahasan intinya tersampaikan. Walau pasti tak seutuhnya.

Dalam sebuah kehidupan yang seyogyanya fana ini, manusia tidak terlepas dari yang namanya sosialisasi. Manusia yang satu akan selalu membutuhkan manusia yang lain. Bahkan, seseorang yang mengaku mandiri pun tidak lepas dari bantuan orang lain dalam kesehariannya. Manusia-manusia saling bersimbiosis mutualisme hingga munculah istilah kerjasama.

Pada prakteknya, kerjasama berujung pada sebuah kesuksesan hasil gotong royong semua pihak. Pada pentas drama sekalipun, seringkali yang dielu-elukan pertama adalah para aktor dan artisnya. Tidak ada yang menampik bahwa memang mereka lah katalisator kesuksesan sebuah acara. Lalu, bagaimana apresiasi terhadap para pekerja di belakang layar? Sang penulis skenario, kameramen, penata artistik, hingga wardrobe?

Hampir setahun sudah saya berprofesi sebagai jurnalis resmi kampus. Hampir setiap hari, saya selalu bersinggungan dengan dunia dimana orang-orang di dalamnya selalu peka dengan isu di sekitarnya. Menjadi seorang jurnalis, tidak lantas menjadikan saya dan 17 reporter lainya terkenal se-seantero ITS. Ya, sebab tempat saya bernaung ini dipegang oleh Humas ITS berbeda dengan Lembaga Pers Kampus (LPM) kebanyakan. Gerak-geriknya pun dikontrol penuh oleh atasan. Hal terpenting yang tetap dijadikan prioritas adalah branding ITS.

Saya, termasuk kru lain juga, tidak masalah dengan hal ini. Sebagai seorang ‘penghasil’ berita, tugas pokok kami hanya meliput, menulis, dan menyebarkan. Seperti kebanyakan wartawan media cetak lainnya. Sebut saja Jawa Pos, Kompas, dll. Tidak peduli seberapa bagus tulisan sang wartawan, tetap yang menjadi sorotan pengahrgaan adalah sang pemegang merek. Dalam hal ini saya berbicara masalah layar kaca ya, bukan di ranah organisasi/lembaga/badannya sendiri.

Memang, hakikatnya saya ini hanyalah pekerja yang dipekerjakan. Bergantung pada tanggung jawab yang harus terus diemban. Mematuhi serta tunduk peraturan. Dan yang tidak kalah penting adalah menyoal upgrading diri. Saya akui, menjadi seorang reporter ini susah-susah gampang. Ada kalanya adara yang harus diliput sesuai bidang minat, atau paling tidak acara umum yang saya yakin saya paham. Namun, tidak jarang juga materi yang sedang dibahas di luar jangkauan saya, misalnya materi yang ada pada sidang doktor, terlebih dari jurusan hard-engineering seperti teknik mesin, elektro, fisika dll.

Saya harus benar-benar memutar otak mencari cara bagaimana agar bisa paham apa yang menjadi pokok bahasan. Setidaknya, meyakinkan narasumber untuk mau memberikan penjelasan khas orang awam kepada saya guna dirilis ke dalam tulisan yang mudah dipahami pembaca.

Belakangan, saya termasuk salah seorang Organization Committee (OC) sebuah ospek institut bernama Gerigi di ITS. Pada saat mendaftar, entah apa yang ada di pikiran saya, saya memilih sie secara asal. Saya memilih Kesekretariatan (Kestari). Sebetulnya saya sama sekali tidak ingin mengaitkan sie ini dengan status saya sebagai jurnalis. Di benak saya, apapun sie nya, yang terpenting adalah kontribusi.

Hari H sudah semakin dekat, namun plotting maba ke dalam grup-grup tidak juga rampung. Penyebabnya adalah keterlambatan pemberian data dari birokrasi. Hingga suatu hari data mahasiswa baru akhirnya turun kami pun bergegas memilih-memilah data tersebut untuk dikelompokkan.

Pada hari yang sama, kebetulan saya juga sedang bergelut dengan acara dan keperluan organisasi lain. Yang pada akhirnya saya harus memutuskan memilih ikut memetakan maba untuk acara gerigi. Saya akui proses pemetaan maba ini tidak mudah. Di hari pertama setelah diterbitkan, rupanya ada sekitar 300 mahasiswa yang belum tercantum dan puluhan lainnya ganda dari total 5500 mahasiswa baru ITS. Setelah dilakukan penysisiran, pengecekan ulang, dan pemasukan nama maba.

Beruntungnya, setelah kerja keras tiga hari berturut-turut. Proses ploting maba bisa selesai walau diakui prosesnya yang tidak sistematis. Jika dari awal terlanjur salah, berikutnya terus salah, hingga di akhir kemudian baru tersadar untuk dilakukan perbaikan.

Tidak banyak kontribusi saya di sie ini. Bisa dibilang, tidak totalitas sama sekali bahkan kurang. Sebagai seorang pekerja di belakang layar, baik jurnalis atau kestari, tidak ada seorang pun tahu, maupun mencari tahu. Yang mereka mau tahu hanyalah kesempurnaan. Artikel yang menarik dan informatif. Acara yang sistematis dan kreatif.

Namun lagi-lagi, esensi dari semua ini adalah tentang tanggung jawab. Bukan mengenai siapa saya, siapa kamu. Melainkan mengenai apa kontribusimu dan sudah selesaikah tanggung jawabmu?

 


 

*Ditulis saat suasana hati sedang galau setelah dilanda hari hectic berkepanjangan

*Beda kondisi, beda gaya penulisan, maaf

28 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: