Stories,  Ulasan

Pengalaman Isolasi COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran

Tujuh bulan yang lalu, halaman blog ini pernah diisi cerita tentang bagaimana saya melewati masa-masa ketika terinfeksi virus COVID-19 untuk pertama kali. Kejadiannya persis di bulan kelahiran saya. Sampai sesekali saya merasa menjadi orang paling tidak beruntung yang pernah ada. Selain tentang kesendirian, momen ‘pertama’ ini juga cukup membingungkan semua orang tentang bagaimana caranya bertindak dan bersikap, tak terkecuali saya.

Saat ini, seolah dejavu, saya masih terbaring di kasur dengan masih berstatus positif covid-19. Bedanya, kali ini ruangannya lebih luas, lebih terang, dan lebih tertata rapi. Bayangkan saja, tahun lalu, kosan sempit yang saya jadikan tempat isolasi mandiri tidak jauh bedanya dari sebuah kamar usang tak berpenghuni. Ia tanpa suara, minim gerakan, ditambah aroma tidak mengenakan yang seolah-olah enggan beranjak pergi.

Cerita Covid-19 Pertama: The COVID-19 Story, the worst is yet to come

Cerita Covid-19 Kedua: The COVID-19 Story, the world doesn’t revolve around you

Cerita Covid-19 Ketiga: The COVID-19 Story, things we take for granted

Tower Wisma Atlet

Ekspektasi

Tidak sedikit yang menanyakan kondisi Wisma Atlet Kemayoran yang disulap oleh Pemprov DKI sebagai tempat karantina / Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC). Pun saya, sebelum menapakkan kaki di sini, saya memiliki segudang bayangan yang akhirnya bisa terjawab.

Apakah karantinanya gratis? Bagaimana kualitas makanan dan obat-obatannya? Berapa kali akan dilakukan test swab PCR? Nanti bakal bosen gak tuh?

Sebagai seseorang yang ‘bodo amat’ di hampir segala hal, saya tidak menaruh harapan banyak tentang apa yang akan saya dapatkan selama isolasi di wisma atlet ini. Pun keputusan untuk isolasi di sini sebenarnya bukan inisiatif saya sendiri, melainkan karena arahan atasan dan rekan kerja.

Realita

Sudah tujuh hari saya habiskan di wisma atlet ini. Alhamdulillah, proses recovery saya jauh lebih cepat ketimbang saat pertama kali terinfeksi COVID-19 tahun lalu. Entah apakah ini karena saya di diisolasi di wisma atlet, daya serang virusnya yang lemah, atau imun saya yang jauh lebih kuat. Satu hal yang pasti, gejalanya saya rasa tidak sekompleks infeksi pertama. Indra penciuman dan perasa masih aman terjaga. Setidaknya, suplai makanan masuk ke tubuh tidak terlalu terbebani.

 

My Honest Review

Penampakan kamar dengan single bed

Kamar (7.0 out of 10.0)

Layaknya apartemen pada umumnya, di Tower 5 ini, saya mendapatkan unit dengan dua kamar dan sedikit area ruang tamu. Dimana ada kamar yang berisikan 1 bed dan kamar lainnya berisikan 2 bed. Jadilah saya memiliki dua roommate sejak hari pertama saya di Wisma Atlet. Kasur, bantal, sprei, dan selimut disediakan. Terdapat lemari hingga peralatan sanitasi seperti handuk, sikat gigi, sabun, shampo, dan sabun cuci. Beruntung, saya yang packing seadanya, cukup terbantu dengan fasilitas ini.

Overall, kualitas kamar oke, hanya saja ada beberapa catatan dari saya. Sebagai yang sangat sensitif dengan debu, unit saya yang terletak di lantai 17 ini, cukup banyak debunya. Alhasil, hampir semalak suntuk saya bersin-bersin hingga sesekali ditemani nyamuk yang entah darimana datangnya.

Catatan kedua adalah mengenai kebersihan kamar mandi. Saya paham dengan tingginya angka keluar-masuk di Wisma Atlet belakangan ini, rasanya cukup sulit untuk menjaga standar kebersihan tiap-tiap unit.

Catatan ketiga, stop kontak hanya tersedia di ruang tamu dan area pantry. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana tiga orang harus bergantian charge gadget di luar kamar masing-masing tanpa pengawasan.

Catatan terakhir adalah mengenai faktor keamanan. Menurut observasi saya, baik lemari, pintu kamar mandi, pintu kamar, hingga pintu unit tidak ada satupun yang tersedia kuncinya. Bukan maksud hati berburuk sangka dengan orang-orang di sini, hanya saja, saya rasa tetap perlu tindakan pencegahan ketimbang repot melakukan penyelidikan di akhir (Walaupun diklaim ada cctv di setiap sudutnya).

Tampilan makanan dan snack box yang dibagikan setiap harinya

Makanan (6.0 out of 10.0)

Di hari pertama dan kedua, saya hanya mampu menghabiskan 2-3 sendok makanan saja. Entah faktor napsu makan yang turun, atau karena makanannya. Karena tidak jarang, saya mengalami mual yang sangat tidak mengenakan. Hingga di hari ketiga, saya konsul dengan ahli gizi di sini yang berujung diubahkan menu makan saya menjadi paket diet.

Soal rasa, lagi-lagi saya bingung mendeskripsikannya. Perkara lidah saya yang salah, atau memang standar rasanya yang demikian. Tidak jauh berbeda dengan makanan di rumah sakit kebanyakan. Bedanya, di Wisma Atlet ini dihidangkan di dalam rice box.

Selain dapat makan pagi, siang, malam, pasien juga dapat jatah satu snack box yang biasanya tersedia setelah jam makan pagi. Kalau soal ini, fine-fine aja menurut saya. Lebih dari cukup untuk mengganjal perut di sela-sela jam makan.

Obat-obatan (9.0 out of 10.0)

Sebagai yang sering kesulitan mengonsumsi obat tablet, saya cukup dibikin kaget ketika disodori sebungkus obat berisikan belasan tablet. Isinya beraneka ragam, mulai vitamin, anti virus, paracetamol, obat mual, dan obat lainnya yang tidak saya ketahui fungsinya.

Sama seperti makan, obat juga dibagikan terjadwal berbarengan dengan jadwal makan. Biasanya, sesekali, ada pengecekan tensi darah, atau sekadar wawancara singkat mengenai kondisi terkini pasien oleh para tenaga medis di sini.

Layanan dan Tenaga Medis (9.0 out of 10.0)

Selama berinteraksi dengan beberapa tenaga medis yang in charge di lantai 17, I have no complaints. They are quite helpful! Hanya saja, terdapat kejadian yang lumayan menyakitkan (literally). Tepatnya saat proses pengambilan darah dimana pada percobaan pertama hingga ketiga, darah tidak berhasil diambil dari lengan saya. Sebagai seorang yang takut jarum, proses tiga kali tusuk dengan hasil nihil ini sangat menyakitkan. Hingga di hari kedua, di percobaan keempat, dengan suster yang berbeda, darah saya berhasil juga keluar.

Disclaimer: Saya tidak menyalahkan susternya yang tidak kompeten. Hanya saja, saya menyayangkan kenapa harus sampai tiga kali coba dulu. Seharusnya, paling tidak suster tsb bisa menganalisa kenapa tidak ada darah yang keluar, tanpa harus memaksa yang berujung lengan saya bengkak sedikit.

Selain tenaga medis, ada petugas kebersihan, mekanik, hingga petugas administrasi yang overall cukup memuaskan pelayanannya. Cukup komunikasi via whatsapp mengenai isu yang sedang dialami, maka petugas akan segera turun untuk tindak lanjut.

Proses Test SWAB PCR setelah hari ketujuh isolasi

Test Swab PCR (8.0 out of 10.0)

Prosedur test covid-19 di sini adalah di hari ketujuh setelah tes mandiri pertama. Jadi misalkan kemaren saya tes PCR tanggal 10 Februari 2022, maka saya akan dites lagi di Wisma Atlet pada 17 Februari 2022. Waktu keluar hasilnya tentatif, ada yang sehari selesai, hingga ada yang sampai empat hari. Bergantung kepadatan jumlah pasiennya sih. Jika hasilnya negatif maka kita diperbolehkan pulang, namun jika masih positif maka tes akan diulang di hari kelima. Menurut saya, kekurangannya di sini hanya pada lamanya hasil keluar. Jika mau dibandingkan dengan lab test covid-19 di luar sana, waktu keluarnya tes jauh lebih cepat, jadi tidak buang-buang waktu sih hanya untuk menunggu hasil. Belum lagi ada potensi re-infeksi selama waktu tunggu mungkin? Entahlah.

Sekian artikel kali ini. Jika ada waktu, mungkin kalau ada waktu di artikel selanjutnya akan saya coba bahas tata cara pendaftaran untuk bisa isolasi di Wisma Atlet Kemayoran ini.

See you and stay healthy!

Lorong Tower 5 Lantai 17 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta

Leave a Reply

%d bloggers like this: