Perbandingan Maskapai Bertarif Rendah di Asia Tenggara dan Eropa
Jika perlu dibandingkan, LCC milik negara tetangga, Air Asia, sebenarnya sudah sejak lama menerapkan kebijakan penerbangan tanpa bagasi gratis ini. Sehingga penumpang yang ingin bepergian dengan bawaan yang banyak memang ditawarkan untuk membeli bagasi sendiri. Namun tetap bagasi kabin seberat 7KG diberikan cuma-cuma dengan menyasar target para backpacker atau orang-orang yang melakukan perjalanan bisnis singkat.
Baca juga: Drama Kenaikan Tarif & Penghapusan Bagasi Gratis Maskapai Bertarif Rendah
Di Eropa, ada beberapa maskapai budget sejenis. Di antaranya, Transavia, Ryanair, Wizz Air, Easy Jet, Vueling, dan sebagainya. Hanya saja, saya baru sempat merasakan naik dua di antaranya yakni Ryanair dan Wizz Air ketika masih berstatus exchange student di Porto, Portugal dulu.
Estimasi hampir 90% penerbangan saya di Eropa menggunakan Ryanair. Maklum, jika dibandingkan dengan maskapai lain, sebut saja Tap Portugal, Air France, KLM, atau bahkan ke LCC lain, maskapai Ryanair jauh lebih memikat. Selain tarifnya murah, pilihan rutenya juga banyak menyasar hingga kota-kota kecil di Eropa. Sampai-sampai, FYI, saya pernah mendapat tiket Porto-Frankfurt hanya seharga €5, Porto-Paris hanya €12, atau Porto-Barcelona hanya €9.
Kendati sama-sama merupakan maskapai berbiaya murah, kualitas Ryanair jelas berbeda dengan maskapai-maskapai di Asia Tenggara.
Beberapa hal yang membuat berbeda misalnya soal ketepatan waktu keberangkatan, bentuk kompensasi, kualitas cabin crew, dan tidak lupa menyoal harga tiket.
Selama kurang lebih sepuluh bulan menjadi pengguna Ryanair, saya berani bilang kalau Ryanair jauh lebih bagus ketimbang maskapai LCC lain seperti Lion Air, Wings Air, Citilink, Air Asia, dan lain-lain.
Sepanjang melakukan penerbangan dengan Ryanair pula, saya Alhamdulillah tidak pernah dikecewakan. Kalaupun ada delay, biasanya tidak lebih dari 15 menit. Dan pengumuman sangat jelas disampaikan oleh petugas dengan alasan yang masuk akal.
Pernah suatu ketika saya hendak pulang ke Porto dari Milan dengan menggunakan Ryanair. Penerbangan saat itu terjadwal sekitar pukul empat sore. Namun, tiba-tiba saya dikagetkan dengan email dari Ryanair kalau penerbangan dibatalkan.
Saya yang sudah siap-siap berkemas untuk check out dari hostel langsung berpikir keras. Apa yang harus saya lakukan? Beli tiket baru atau menunggu reschedule otomatis dari Ryanair nya?
Rupanya, di email pemberitahuan pembatalan tersebut sudah lengkap dijelaskan prosedur yang harus ditempuh jika terkena pembatalan sepihak oleh maskapai. Selain mendapatkan hak refund/reroute/reschedule, penumpang juga berhak atas uang kompensasi seperti yang tertera di UU EU261 dan juga uang penggantian biaya yang dikeluarkan akibat pembatalan seperti biaya hotel, makan, dan transportasi lokal.
Beruntungnya ketika penerbangan saya dibatalkan saya sama sekali tidak merasa dirugikan. Lantaran saya menang tidak ada keperluan mendesak di Porto saat itu. Malahan saya bersyukur karena bisa menikmati kota Milan lebih lama dan dibayarin sama Ryanair. Mantap.
Coba kita bandingkan dengan maskapai budget di Asia Tenggara. Penumpang yang penerbangannya terkena delay akan mendapatkan kompensasi sesuai lamanya penundaan. Urutannya adalah pertama hak atas snack dan minuman, makan besar, uang Rp.300 ribu, dan biaya penginapan (jika diperlukan).
Yang menjadi persoalan bukan tentang besaran nominal kompensasinya, tapi lebih kepada manajemen para pegawai maskapai dalam menangani masalah. Hingga tidak heran banyak calon penumpang yang terbawa emosi dan terlibat cekcok di bandara. Sialnya saya beberapa kali menjadi saksi percekcokan ini. Sampai-sampai ada yang baku hantam. Sungguh lucu negeriku Indonesia ini.
Kesimpulannya, saya pribadi belum sepakat jika budget airlines menerapkan kebijakan ini sekarang. Masih ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan. Utamanya mengenai peningkatan kualitas layanan dan terobosan-terobosan terbaru yang bisa semakin merangkul pasar dunia aviasi.
Tidak terkecuali kepada para pengguna pesawat terbang untuk selalu introspeksi diri. Sudah seyogyanya untuk menjadi bangsa yang besar, masyarakatnya harus punya hati yang besar pula. Sebab tidak semua permasalahan bisa diselesaikan dengan emosi, apalagi dengan kekerasan.
Saya optimistis Indonesia bisa lebih hebat lagi!