Arsitektur

Refleksi Diri Dari Titik Nol Arsitektur ITS

Jika dipikir-pikir, terlampau berdosa rasanya meninggalkan tumpukan tugas yang seharusnya diselesaikan. Sedang yang sekarang bisa gue lakukan adalah menuliskan huruf demi huruf di kertas putih tak teraba ini. Tanpa dasar apa-apa, di samping sebuah upaya agar usaha yang gue lakukan dalam membangun blog ini tidak sia-sia. Singkatnya, bagaimana caranya dengan kesibukan seperti sekarang, produktivitas blogging gue tetap terjaga. Hehe.

Masih tidak lepas dari beban perkuliahan di Jurusan Arsitektur, gue mencoba buat lebih banyak bersyukur aja sekarang. Kenapa? Karena beberapa waktu terakhir ini, seperti yang sudah pernah gue utarakan pula di postingan sebelumnya, gairah kuliah gue terus-terusan melempem skalanya. Kata orang-orang sih biasa. Mahasiswa fase pertengahan yang masih mencari jati dirinya di dunia perkuliahan.

Baca Juga: Kehidupan Tahun Pertama Seorang Mahasiswa Arsitektur

Padahal, beban kuliah di sini, gue yakin ga lebih berat dari jurusan lain. Karena gue yakin, setiap jurusan pasti ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tanpa harus sombong atau merasa menjadi yang paling teraniaya hidupnya. Sebab tugas hanyalah tugas. Seberapa banyaknya tugas, suatu saat pasti akan berlalu. Kalau ga dapat bagus, ya dapat jelek. Haha.

Arsitektur ITS Yang Dulu

Berkaca pada 1965 ketika Jurusan Arsitektur ITS pertama kali dibentuk, mahasiswa arsitektur saat itu gue yakin lebih menyedihkan nasibnya ketimbang mahasiswa sekarang yang dikit-dikit ngeluh, curhat di sosial media. Hehe. Sebut saja Ir Happy Ratna, angkatan pertama Arsitektur ITS sekaligus dosen perempuan yang masih aktif sampai sekarang, harus rela menyelesaikan 240 Satuan Kredit Semester (SKS) untuk bisa lulus. Di mana dengan beban sebanyak itu, paling tidak butuh waktu sembilan tahun demi mendapat gelar insinyur saat itu.

SKS sebanyak itu pada awalnya adalah warisan kurikulum pada masa penjajahan Belanda di ITB. Kebetulan, para sesepuh Arsitektur ITS seperti Prof Ir Johan Silas dan Prof Ir Haryono Sigit merupakan alumni ITB terakhir (Lulusan 1963) yang merasakan kurikulum tersebut. Jadi gak perlu heran kalau saat itu mata kuliah seperti fisika, kalkulus, geodesi, struktur beton, baja dll yang sebenarnya merupakan makanan mahasiswa FMIPA dan Teknik Sipil harus rela ditelan mentah-mentah oleh mahasiswa Arsitektur.

Beruntungnya ketika gue masuk ITS pada 2014 lalu, kurikulum baru (Kurikulum 2014) pertama kali diterapkan dan mata kuliah yang sebelumnya jadi mimpi buruk mahasiswa arsitektur dihapuskan. Yeah! Kalkulus dan fisika dasar yang gue rasa juga gak ada kaitannya langsung dengan arsitektur berhasil hilang dari jajaran mata kuliah prasyarat jenjang sarjana.

Baca Juga: 10 Jurusan Arsitektur Terbaik di Indonesia

Belum lagi ketika kelihaian tangan harus diuji untuk mem-visualisasikan ide dan gagasan disebabkan alat bantu gambar komputer seperti AutoCAD, Google Sketchup, Coreldraw, Photoshop belum hadir. Gue pribadi bisa ngebayangin gimana kalau prinsip ini diterapkan di masa sekarang. Gue berani bertaruh, akan ada banyak yang resign dari Arsitektur dan beralih ke jurusan lain seperti yang Bu Happy pernah bilang. Termasuk gue, dengan tangan apa adanya ini, bikin garis lurus aja gabisa. Gimana mau bikin bangunan pikir gue. #Nasib

Diperparah pula dengan kondisi belajar-mengajar saat itu. Kurang lebih lima tahun pertamanya, mahasiswa Arsitektur ITS harus puas belajar hanya beralaskan tanah dan beratapkan seng di Jalan Undaan Kulon Surabaya. Sebelum akhirnya pindah ke Baliwerti, Cokroaminoto hingga pada 1982 barulah kampus Arsitektur ITS resmi dipindahkan ke Sukolilo seperti yang berdiri kokoh sekarang. Suasana panas, berisik, dan tak mengenakan lainnya sudah pasti ada. Gak kebayang, di saat yang sama, di sini, temen-temen se angkatan gue mengeluhkan Air Conditioner (AC) yang tidak kunjung dingin. Atau, kondisi studio yang sering dianggap tidak layak.

Masih berbicara tentang kesibukan sebagai mahasiswa arsitektur, lalu bagaimana dengan agenda perpeloncoan sekarang? Istilah kerennya sekarang sih kaderisasi. Momen di mana mahasiswa senior mengambil kuasa penuh atas juniornya. Dulu, yang gue tahu, perpeloncoan mahasiswa tidak selonggar sekarang. Hakikat bahwa mahasiswa teknik itu harus kuat fisik dan mental itu adalah mutlak. Yang juga berlaku pada mahasiswa arsitektur saat itu.

Bandingkan dengan sekarang. Mahasiswa baru sekarang cenderung sering berkeluh kesah dengan kesibukan yang mereka alami dan pilih sendiri. Mahasiswa baru harus rela disuapi berbagai jenis pelatihan tanpa mereka tahu esensinya. Berbekal kata “Wajib” semua mahasiswa baru seolah-olah dihipnotis dan digiring untuk mengikuti semuanya. Ditambah berbagai jenis organisasi dan kepanitian yang mereka pilih sendiri. Atau kalaupun tidak, itu adalah keputusan yang harusnya bisa mereka tentukan sendiri. Toh sudah Gedhe! Belum lagi ditambah beban kuliah.

Baca Juga: 10 Alasan Kamu Harus Masuk Arsitektur ITS

Epilog

Benarkah demikian? Ketika keluh kesah mahasiswa Arsitektur ITS sekarang ternyata tidak lebih berarti ketimbang bagaimana para pendahulunya, sebut saja Ir Djelantik, Ir Setiadi, Ir Suhardjo, Ir Sundjojo, Ie Jihan Silas, Ir Haryono Sigit, dan masih banyak lainnya, mau berjuang mbabat alas dan mendedikasikan dirinya demi penyebaran ilmu pengetahuan. Ketika Surabaya pun ingin bisa maju seperti Bandung yang punya ITB. Surabaya dengan ITS-nya bagaimana? Masihkah kita mengeluh? #TanyaPadaDiriSendiri

 

Referensi: Titik Nol Kampus Perdjoeangan ITS (2012)

One Comment

  • Qorisme

    well, ane memang pernah dapet fase bosan dan kehilangan arah pas pertengahan kuliah. Cara ngatasinnya, why not make money from your major? Coba bro cari kesempatan buat menghasilkan uang dari ilmu yang di punya. Buka akun freelancer di Internet, siapa tau banyak yang butuh jasa ente selain itu juga bagus untuk ngasah skill.

Leave a Reply

%d bloggers like this: