Fenomena,  Opini,  Ulasan

Solusi Transportasi Mudah dan Murah di Jakarta

Beberapa teman terkecoh saat pertama kali membaca judul artikel sebelumnya (Baca juga: Life is Annoyingly Unfair). Kegelisahan serta keresahan atas artikel sebelumnya sejujurnya bukan mengenai kehidupan pribadi saya, bukan, melainkan keluh kesah saya atas sistem tata kota dan transportasi di Jakarta. Artikel khusus mengenai perjuangan saya dengan buah kegagalan yang mungkin dimaksud teman-teman (mungkin) akan saya bahas di artikel terpisah, Insyaallah.

Sebagai perantau di Jakarta, mengandalkan hidup 100% terhadap transportasi publik tidaklah tepat. Ketersediaan hunian yang terjangkau jaringan transportasi publik masih terbatas jumlahnya. Bahkan, kalaupun ada, tarifnya dapat dipastikan menengah ke atas, tepatnya di rentang 1,5-2,5 juta per bulannya. Minus lainnya, biasanya tak jauh dari lingkungan yang tidak kondusif, hingga tingginya crime rates.

Kehadiran MRT, KRL, Transjakarta, hingga Mikrotrans masih belum cukup untuk menampung mobilitas warga Jakarta dan kota satelit di sekelilingnya. Selain dari keterbatasan jumlah rute, kapasitas angkut, headway yang lama, masalah yang paling signifikan dan menjadi PR pemerintah adalah mengenai konektivitas. Bahkan, mikrotrans atau angkot yang sudah dikelola pemerintah pun (Jaklingo, red) masih belum menjadi solusi. Tidak heran jika pertumbuhan kepemilikan sepeda motor di Jakarta selalu naik setiap tahunnya. Hingga pada 2020, menurut data BPS, 75% kendaraan di Jakarta didominasi oleh sepeda motor dengan jumlah sekitar 16 juta unit.

Warga pendatang atau yang tidak memiliki sepeda motor seperti saya, akibatnya, akan masih bergantung pada online ride-hailing services. Sebut saja dua nama raksasa yang eksis di Indonesia seperti Gojek dan Grab. Saya akui, hadirnya kedua brand ini sangat membantu perbaikan sistem transportasi di tanah air di tingkat lapisan terendah. Mulai dari proses pesan, negosiasi tarif, kepastian ketersediaan jasa, hingga keamanan adalah yang terbaik yang bisa saya rasakan manfaatnya.

Kenapa? Sebab saya ingat betul, 10 tahun yang lalu saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya adalah penumpang reguler bus sekolah. Sekitar pukul 07.00 pagi, mau tidak mau saya harus sudah siap menunggu di jalan utama lokasi penjemputan yang berjarak 1,2 kilometer dari kontrakan. Lewat beberapa menit saja, sudah dipastikan saya akan ketinggalan. Dampak terburuk dari keteledoran ini adalah ketidakhadiran saya di keseluruhan kelas di hari itu. Saat itu, tidak ada opsi lain selain mengadalkan jasa ojek pangkalan yang tarif serta hospitality-nya sulit diajak kompromi.

Namun, tentu saja kedua jasa yang ditawarkan kedua raksasa ride-hailing companies ini bukan solusi jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus tetap membangun secara bertahap konektivitas dari lingkup terkecil ie. Kelurahan, Kecamatan, hingga Kota. Jika diperlukan, kebijakan tata kota yang tidak mendukung terhadap implementasi ide ini bisa dianulir. Sebab saya cukup mengerti seberapa kompleks permasalahan transportasi ini menyinggung aspek lainnya di kehidupan bermasyarakat, termasuk mengubah budaya dan tata laku masyarakatnya sendiri.

Keengganan memiliki kendaraan pribadi masih menjadi alasan saya untuk tetap mengandalkan transportasi umum, ditambah pula ketiadaan akses ke kantor tempat saya bekerja. Padahal, ini adalah infrastruktur sosial paling mendasar yang harus difasilitasi untuk mendukung proses bisnis, belum lagi jika kita bicara mengenai green environment, inclusivity, resiliency, dan sustainability. Rasa-rasanya masih jauh.

Sejak mulai populer beberapa tahun kebelakang, tarif gojek dan grab sudah melalui beberapa kali penyesuaian mengikuti peraturan pemerintah, sekaligus ongkos operasional perusahaan tentunya. Kebijakan ini berdampak pada masyarakat yang harus merogoh kocek lebih dalam lagi.

Beruntung, belakangan ada alternatif lain selain dua perusahaan raksasa di atas yang bisa saya andalkan. Adalah Maxim, Si platform kuning yang berasal dari Rusia. Tarif yang ditawarkan platform ini masih jauh di bawah kedua aplikasi tadi. Kalkulasi sederhananya, jika tarif minimum aplikasi ijo adalah 14.000, maka di Maxim tarif minimumnya adalah 10.000. Bahkan di jam-jam sibuk, sepengalaman saya tidak ada surge-pricing yang berlaku di Maxim. Sehingga tarifnya akan tetap normal. Di peak hours (jam-jam sibuk, red), jika tarif ketiga platform ini dibandingkan, Maxim bahkan mampu menawarkan tarif setengahnya saja.

Nah, bagi pengguna baru, ada hadiah saldo senilai 100.000 di dompet digital Maxim bagi yang memasukan kode: 3C60506B saat proses registrasi. Aplikasi tersedia di playstore dan app store yaa. Cobain deh!

Ps.

Semoga saja pemangku kebijakan membaca artikel saya yang bukan siapa-siapa ini, dan dapat memposisikan dirinya sebagai mahyoritas yang menggantungkan hidup pada transportasi publik. Dengan tidak mengistimewakan pengguna kendaraan pribadi lagi saja saya rasa sudah cukup, syukur-syukur jika ada perbaikan bertahap di sistem angkutan umum, pejalan kaki, kaum disabilitas.

Leave a Reply

%d bloggers like this: