-
Kompromi Quater-life Crisis, Pandemi dan Mimpi
Sudah cukup sering bukan mendengar dua istilah di atas? Rasanya sudah cukup lama saya ingin mencoba membahas dua hal ini. Namun tenaga dan pikiran belum cukup jernih untuk diajak berkompromi dengan hal-hal yang menyangkut produktivitas. Terhitung Januari 2021 ini, sudah 1 Tahun 4 Bulan saya bekerja dan menetap sendiri di DKI Jakarta. Selama itu pula, rasa gelisah dan beragam ketidakpastian dalam hidup saya semakin menjadi-jadi. Sebagai seseorang yang seringkali merencakan mimpi, saya sudah berusaha mem-breakdown ketidakpastian dan kegundahan yang menyeliputi hari-hari saya. Usut punya usut, apa yang saya rasakan dan detailkan tadi memang lumrah dirasakan oleh orang-orang yang sebaya dengan saya. Mengutip definisi dari Wikipedia: Quarter-life Crisis is a crisis…
-
Membaca Mimpi dari Ujung Benua Eropa
Sudah teramat sering gue berbicara soal mimpi. Cerita tentang kegagalan, penolakan, malu, keluh kesah, hingga keberhasilan sudah pernah gue tuliskan sebagai memori. Tentu tidak semuanya, tapi sebagian besar pengalaman gue bergulat dengan mimpi telah dibagikan di blog ini. Harapannya, agar kelak cerita manis sebuah pencapaian tidak hanya sebatas foto bahagia yang terpampang di Instagram atau Facebook saja. Melainkan ada perjuangan keras yang dibalut tetes keringat di balik pencapaian tersebut. Perjalanan dari kampus menuju apartemen kali ini terasa lama. Selain karena cuaca Kota Porto memang sedang tidak bersahabat, rupanya ingatan akan memori di masa lampau cukup membuat langkah kaki ini melambat. Tidak henti-henti gue mengucap syukur bagaimana skenario Tuhan membawa gue…
-
Impian Ada di Tengah Peluh
Satu tahun yang lalu, gue sedang disibukkan dengan banyaknya deadline, termasuk tugas dan berbagai macam aplikasi beasiswa. Ada Erasmus+, Erasmus Mundus, AsTW, YSEALI, Global UGRAD, dan masih banyak lagi. Nekat aja awalnya daftar banyak aplikasi, siapa tau ada keberuntungan batin gue. Tapi, mostly, beasiswa minta minimal TOEFL ITP paling nggak. Padahal saat itu TOEFL ITP gue sudah kadaluarsa karena sudah dua tahun. Lagipula skornya masih di bawah syarat 550. Cerita pertama, sekitar H-2 minggu deadline salah satu beasiswa, gue nekat daftar TOEFL ITP lagi, tanpa persiapan, dengan biaya lumayan. Dulu biayanya Rp.450.000,- di Unair Surabaya. Kenapa di Unair gak di ITS atau tempat lain? Karena jadwal tes yang paling fleksibel…
-
Jejak Kaki Pertama di Benua Biru
Goresan merah di atas selembar kertas putih itu masih terpampang jelas. Gue masih ingat betul bagaimana semangatnya gue membuat seratus mimpi itu sebagai bukti bahwa kelak mimpi-mimpi itu akan tercoret habis. Pertanda bahwa gue berhasil menyelesaikan apa yang gue ingin dan akan lakukan. Gak melulu soal mimpi besar, gue juga masih berkutat dengan mimpi-mimpi kecil nan konyol -yang dimata orang lain- mungkin sama sekali tak berfaedah. Gak apa-apa, toh usaha untuk mencapai itu juga punya kita sendiri. Baca juga: Berani Bermimpi Kan? Kali ini, gue masih kembali memutar ingatan bahwasanya tiga tahun yang lalu gue juga punya mimpi besar lain. Kuliah di luar negeri adalah hal yang paling gue idamkan…
-
Berani Bermimpi Kan?
Sejak duduk di bangku SMP hingga SMA dulu, aroma persaingan gak begitu nampak. Seperti tidak ada hasrat untuk pengen ini dan itu. Bahkan dalam perlombaan saja, tidak jarang Guru yang proaktif mendaftarkan muridnya. Ketika gue ngeliat temen yang punya bakat tertentu dan merekomendasikan sebuah kompetisi, jawabannya beragam namun intinya sama. “Males ikut-ikut begituan,”, “Ribet kayanya,” dan jawaban-jawaban lainnya. Gue masih ingat ketika sedang browsing di mesin pencarian ketemu dengan sebuah lomba yang diadakan oleh sebuah perusahan multinasional di daerah gue. Niatnya pengen ikut, berhubung hadiahnya gede, namun rupanya persyaratannya haruslah representasi sekolah. Padahal di sekolah gak ada sama sekali woro-woro menyoal ini. Gak berapa lama, gue datengin guru yang mungkin…