Stories

Uraian Fragmen Kenangan dan Rekam Jejak Kepergian Yang Kesekian

Pesawat Airbus A380 milik Qantas dengan kode penerbangan QF-1 sesaat setelah mendarat di Bandar Udara Heathrow, London

Udara dingin itu seketika menyeruak, menusuk kulit seperti ribuan jarum kecil yang merayapi setiap inci tubuh. Sebab, kurang dari satu menit yang lalu, kehangatan suhu ruangan masih dominan menyelimuti. Kaos distro Bandung pemberian seorang teman ini seolah-olah tak berdaya menggelayuti tubuh dan yang tertinggal hanya kenangannya saja.

Di sebelah saya, perempuan yang baru saja, 12 jam sebelumnya, adalah sosok asing yang mengisi keheningan ruangan, kini telah berubah menjadi sosok yang ramah. Hingga sekarang pun senyumnya masih terekam jelas di ingatan saya. Ia mengenakan hoodie rapi dan syal melilit lehernya dengan rapat. Hoodie yang ia kenakan seolah menjadi perisai dari serangan udara dingin yang merayap perlahan. Saya tidak benar-benar tahu, apakah ia juga merasakan dingin yang sama dengan saya atau hanya formalitas belaka. Sebuah transformasi yang mencerminkan perubahan tak terduga dalam waktu yang singkat.

Di antara kita, tercipta keheningan yang tidak diisi kata-kata. Hanya desiran angin sesekali dan suara langkah-langkah kecil yang meresapi lorong garbarata yang sepi. Kala itu pukul 06.00 pagi waktu London, suasana suram, kelabu, dan dingin memperkuat rasa kesendirian, seolah sedang merekam kisah dengan nada paling sendu.

Seiring dengan setiap helaan napas yang tampaknya membeku di udara, saya terpaku pada kontras antara kenangan hangat dan kenyataan dingin di depan mata. Udara seolah membawa pesan bahwa tidak ada kehangatan yang abadi, dan seringkali, kita menemui perubahan dengan takdir yang terasa begitu kelam dan mendalam.

Dalam perubahan cuaca dan suasana, kami berdua terpisah oleh lapisan udara dingin dan tembok yang menjulang tinggi. Dari yang hanya sejengkal jarak di samping saya, kami berdua berjalan ke arah yang berbeda, sosoknya memudar lalu menghilang. Ia yang harus mengejar penerbangan berikutnya ke Barcelona dan Saya yang akan melanjutkan penerbangan ke Edinburgh. Perjumpaan kami selesai sampai di sini.

Delapan belas jam sebelumnya

Hiruk pikuk Bandara Soekarno-Hatta rasanya kalah semrawut dibandingkan apa yang ada di pikiran saya kala itu. Banyak ketidakpastian, kegelisahan, hingga kekhawatiran akan banyak hal membuat kepergian saya kali ini menjadi tidak karuan rasanya. Seumpamanya kamar kos laki-laki, pikiran saya penuh dengan pakaian yang perlu di-laundry, piring serta gelas yang seharusnya sudah dicuci, sprei kasur yang lepas salah dua ujungnya, hingga kabel-kabel gawai milik saya yang saling menyilang tanpa arah yang jelas berserakan di atas lantai. Tidak lupa menyoal ‘bau kamar kos laki-laki’ yang khas itu tanpa saya tau apa penyebabnya. Seperti itulah kira-kira kekacauan menjelang kepindahan saya. Layaknya labirin, kemelut pencarian solusi atas permasalahan tak kasat mata ini benar-benar tidak bisa diajak berkompromi. Saya masih belum menemukan jalan keluarnya.

Enam belas jam sebelumnya

Saya tidak sendiri, ada ibu dan adik saya yang juga akan berpulang ke kampung halaman setelah kurang lebih sepuluh hari membersamai saya di Jakarta. Saya sengaja mengajak mereka ke Jakarta agar kita dapat menghabiskan momen bersama hingga hari kepergian saya. Kesibukan saya bekerja, persiapan keberangkatan, menjadi alasan utama saya hanya bisa tinggal di Jakarta. Banyak aktivitas kecil yang kita lakukan bersama dengan tujuan agar mereka bisa merasakan apa yang saya rasakan sebagai perantau di kota ini, baik bahagianya, pun dengan segala perjuangannya.

Sepuluh hari berlalu, hari terakhir itu pun tiba. Saya sengaja memesankan penerbangan yang jam keberangkatannya tidak jauh berbeda dengan penerbangan saya menuju London, sekaligus berada di terminal yang sama yakni Terminal 3 Ultimate.

Gak apa-apa, semoga umur kita dipanjangkan dan diberikan kesehatan terus,” adalah sepotong dialog yang masih terekam rapi di ingatan selepas saya memeluk ibu dan adik saya.

Sejak lulus Sekolah Dasar (SD), saya sudah harus hidup mandiri. Karenanya, saya menganggap perpisahan adalah sebuah mimpi buruk bagi saya. Situasi ini juga yang menjadikan saya dan orang-orang terdekat saya dulu menjadi berjarak. Saya terbiasa hidup sendiri dan melakukan apapun sendiri. Namun, kali ini, rasanya saya tidak akan sanggup menanggungnya sendiri. Saya masih memiliki ibu dan adik yang hidupnya bergantung pada produktivitas saya. Dada rasanya sesak, mata terasa perih, hingga bulir-bulir air mata tak terasa jatuh membasahi pipi. Saya merasa masih belum bisa memberikan apa-apa namun harus mengorbankan semuanya. Tidak ada jawaban pasti atas semua keputusan ini, tidak ada jaminan yang pasti akan semua tantangan dan kesukaran hidup ini.

Seiring dengan langkah kaki mereka yang bergerak menuju ruang tunggu keberangkatan yang berbeda, hanya sunyi, langit kelam, dan mata basah nan sayu yang menyaksikan perpisahan kami.

Rekam foto dengan Adik dan Ibu

Lima belas jam sebelumnya

Banyak huru-hara lainnya yang turut meramaikan keberangkatan saya. Dimana, hanya saya dan orang-orang terdekat saja yang mengetahuinya. Jika diingat, rasa malu, sedih, dan kecewa terekam rapi di memori saya. Bagaimana saya kebingungan yang teramat sangat atas apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya lakukan.

Berkali-kali saya memandangi kedua koper yang akan saya angkut. Keduanya tidak ideal, baik dari segi timbangan, maupun dimensi. Belum lagi menyoal tidak sinkronnya perbedaan kapasitas bagasi dua maskapai yang akan saya naiki ini, Qantas dan British Airways. Perbedaan keduanya yang membuat saya harus memutar otak agar setidaknya semua barang essential bisa terangkut dengan batasan berat hanya 23 Kg. Ini adalah konsekuensi atas tiket murah yang saya beli terpisah relasi Jakarta-Singapura-London dan London-Edinburgh. Beruntung ada teman-teman dan ibu yang membantu saya untuk melakukan re-packing bagasi on the spot.

Saya bersyukur telah dipertemukan dengan banyak orang-orang baik yang menjadi bagian dari hidup saya setahun ke belakang. Kendati demikian, saya tidak serta merta merasa hidup saya sudah sepenuhnya mulus. Pun mengenai ini keputusan terbaik masih menjadi pertanyaan yang berulang kali mencuat di benak saya.

Satu per satu teman muncul di bandara untuk melepas kepergian saya. Banyak pesan, kesan, hingga obrolan yang tidak semuanya bisa saya cerna keluar dari mulut mereka. Lantaran, momen sentimentil ini cukup mendominasi saya untuk tidak bisa berpikir jernih. Akibatnya, respons saya hanya sesekali saja dan sebatas formalitas. Lagi, saya masih mencoba untuk berkompromi dengan situasi, Bukannya saya menolak pertemuan, namun, saya hanya menyayangkan mengapa ada prosesi perpisahan setelahnya.

Yusuf, Eris, Niko
Maya, Munir, Hendra

Dua belas jam sebelumnya

Di pesawat Garuda Indonesia tujuan Singapore, kursi dekat jendela adalah saksi saya yang masih belum sepenuhnya yakin atas apa yang sedang saya lakukan sekarang. Sesaat setelah lepas landas, dari kejauhan saya masih bisa merasakan betapa kecilnya mimpi-mimpi yang selalu saya dambakan. Dari kecil, samar, hingga kemudian hilang tertutup oleh awan dan tak pernah lagi nampak dari tempat saya duduk.

“Going to London?” ucap perempuan di middle seat, yang rupanya juga memiliki tujuan akhir yang sama dengan saya. Namanya Tiffany, mahasiswa asal Indonesia yang baru saja menuntaskan libur musim panasnya di rumah. Berawal dari basa-basi ringan, kita berdua bertukar beragam informasi, pengalaman, hingga sama-sama mengutuk betapa mahalnya biaya hidup di Inggris.

Berada di baris paling depan di pesawat ternyata bukan tanpa alasan. Kita berdua ditempatkan di awal sebab waktu transit kita hanya berselang 50 menit untuk berpindah terminal dan berganti pesawat menuju London.

Masih dengan kekacauan yang sama, saya pun merasa lelah dengan apa yang terjadi. Jika saja saya tidak berkenalan dengan Tiffany, ada kemungkinan besar saya akan ketinggalan pesawat. Bagaimana tidak, waktu transit yang tertera di tiket ternyata mengacu pada waktu Indonesia, sedangkan, waktu di Singapura lebih cepat satu jam dibanding waktu Indonesia bagian barat.

Kita berdua sama-sama panik. Selepas mendarat, tanpa pikir panjang kita lari sambil membawa koper kabin masing-masing di tengah ramainya bandara changi malam itu. Selain waktu terbatas, tantangan berpindah terminal inilah yang jadi isu. Benar saja, setelah berlarian dengan backpack di punggung, koper di tangan kiri, dan jaket di tangan kanan, kami akhirya tiba di gate 30 menit sebelum jam keberangkatan pesawat dengan bonus keringat yang membasahi sekujur tubuh masing-masing.

Signage penerbangan Qantas menuju London di depan Ruang Tunggu di Terminal 3 Changi, Singapura

Sepuluh jam sebelumnya

Pengelihatan saya perlahan mulai jelas. Walau rasanya mata seperti habis dilem, dan lampu di pesawat yang cukup silau membuat saya mengucek mata saya berkali-kali. Pandangan saya tertuju pada penumpang samping dan depan sambil sedikit mendongakkan kepala. Rupanya, semua penumpang telah dihidangkan makan malam.

Menu sarapan yang disajikan oleh Qantas

Inilah awal mula perkenalan saya dengan perempuan asal Spanyol ini. Namanya Jessica. Lahir dan besar di Barcelona, membuatnya sangat menyukai negara tropis seperti Indonesia. Kami sama-sama naik pesawat Qantas QF-1 Rute Singapore-London. Ia baru saja menyudahi liburannya di beberapa kota di Indonesia, Malaysia, juga Thailand. Tapi menurutnya, yang paling berkesan adalah Indonesia.

Berkat Jessica, saya jadi tak kehilangan jatah makan malam saya. Berkat dia pula, perjalanan 12 Jam di pesawat berlalu apa adanya.

Banyak hal yang kita bicarakan. Persoalan hobi masing-masing, pengalaman liburan, membangun karier, kisah kegagalan hidup, pandemi covid-19 di negara masing-masing, cerita cinta searah, sampai rencana hidup ke depan. Saking lamanya durasi perjalanan ini, topik obrolan menjadi tanpa batas.

Dua sosok perempuan yang membersamai perjalanan saya ke benua biru (kiri: Jessica & kanan: Tiffany)

Empat belas jam setelah penerbangan

Pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Heathrow, London, bukan rasa senang yang saya rengkuh saat itu. Ada perasaan berkecambuk yang bersemayam di diri saya. Banyak hal yang sudah jadi kebiasaan, kewajaran, dan kenyamanan yang saya jalani empat tahun ke belakang, yang harus saya tinggalkan. Belum lagi perihal pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya untuk sebuah ‘mimpi’ yang entah bagaimana ujungnya.

Keindahan sayap Airbus A380 milik Qantas QF-1 saat mengudara di langit Kota London, Inggris
Berlagak turis untuk beberapa jam di London

Empat bulan kemudian

Empat bulan ke belakangan, kehidupan saya layaknya sebuah kepingan monokrom. Kota ini selalu merangkul kumpulan awan yang membentuk langit kelabu tanpa warna. Di balik arsitektur klasiknya yang memesona, musim dingin tiba dengan kesendiriannya. Sebuah realita yang membuka mata saya pada keindahan, kesunyian dan juga kesendirian.

Suasana dan gambaran kota Edinburgh saat musim dingin

Dengan angin yang menusuk dan sesekali hujan salju yang lembut, mereka adalah medan perjuangan tersendiri bagi orang-orang negara tropis seperti saya. Pergi ke kampus dalam kondisi gelap dan kembali di tengah gulita malam. Situasi di musim dingin ini pula yang membawa saya pada refleksi diri yang mendalam. Terima kasih 2023, semoga kita bisa menjadi jauh lebih kuat tahun depan yang api semangatnya tak mudah padam.

Edinburgh, Skotlandia,
30 Desember 2023

You may listen to my feeling at the moment ~

Leave a Reply

%d bloggers like this: