Ocehan,  Stories

Rumitnya Berurusan dengan Birokrasi

Di awal-awal masa perkuliahan (sampe sekarang sih), gue sering dicap sebagai calon-calon budak birokrasi. Kata temen-temen, tanda-tandanya bisa terlihat jelas di pribadi gue. Selalu dekat dengan birokrasi kampus, jarang ikut demo, kut kegiatan kemahasiswaan yang orientasinya profit, atau yang paling jelas adalah target ketika lulus kuliah: Daftar CPNS.

Gue juga ga menampik hal itu. Karena gue rasa, jadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukanlah sesuatu yang salah. Sesuai pribadi gue yang seringnya nyari aman haha.  Di mana kebanyakan temen-temen seangkatan gue di kampus pada ogah jadi PNS. Terkekang, gaji dikit, jadi budak, kena sumpah-serapah masyarakat dan takut korupsi, sudah mewakili alasan yang sering kuping gue denger.

Nah, inti postingan ini sebenernya ada kaitannya tentang kelebihan dan kekurangan menjadi seorang PNS. Gue masih inget banget ketika kemarin ke kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) niatnya buat ngambil EKTP. Di sana gue menyaksikan gimana masyarakat dengan emosinya meluapkan api amarah mereka ke petugas. Berbagai komplain, cacian, hingga tuduhan ikut korupsi gak luput diutarakan masyarakat karena tak kunjung menerima EKTP yang dijanjikan.

Agak ngeri juga, tapi ya beginilah potret birokrasi Indonesia. Gue semakin ke sini semakin sering juga emosi sama birokrasi. Mulai dari kasus EKTP gue yang gak jadi-jadi hampir dua tahun sampai beberapa kasus terkahir yang gue alami. Baiklah, gue akan cerita satu-satu.

EKTP

Sepertinya untuk masalah ini gak perlu panjang-panjang, karena mayoritas masyarakat Indonesia udah tahu apa yang terjadi sama kisruh EKTP ini. Yup, EKTP gue akhirnya bulan kemarin bisa gue pegang setelah perjuangan wara-wiri dan diPHP sama petugas.

Gue makin emosi ketika kemarin mau buka rekening bank tapi gak bisa kalau masih pake surat bukti perekaman EKTP. “Harus EKTP aslinya mas,” ujar petugas bank. Entah bener atau engga, dia bilang sebagian besar kantor udah gak menerima lagi surat perekaman karena masalah EKTP udah kelar. Lah kelar dimanaya, tanya gue, buktinya gue belum menerima ektp. Alasannya banyak, dari mulai blanko habis, mesin rusak, atau banyaknya antrian.

Padahal yang dikorbanin banyak, uang transport, waktu, dan tenaga karena harus bolak-balik dukcapil.

Tapi syukurlah sekarang EKTP gue udah jadi.

Pendanaan di Kampus

Di kampus, gue Alhamdulillah dapat beasiswa fully funded buat exchange ke luar negeri. Tapi, di kehidupan nyatanya gue harus pake duit sendiri dulu karena beasiswa gak serta merta turun mengucur dari langit. Pasti ada proses administrasi yang harus dilalui. Nah, karena keluarga gue gak punya uang, gue inisiatif buat pinjem dana talangan ke kampus sebelum berangkat.

Gue pun mulai melaksanakan prosedurnya, mulai membuat surat pengantar ke kepala departemen, lanjut ke dekan, ke biro keuangan, hingga wakil rektor. Keliatannya mudah, nyatanya tidak semulus itu perjalanannya. Ada kejadian salah tanda tangan, yang bersangkutan lagi keluar kota, hingga prosedur yang tidak konsisten. Yang terakhir itu yang bikin gue lelah karena hampir dua minggu setelah pengajuan masih belum ada kepastian.

Gue bolak-balik rektorat dan biro keuangan, hanya untuk mengecek apakah suratnya sudah keluar atau belum. Bahkan, ketika itu ada ibu-ibu yang kemudian bingung tanda tangan siapa yang harusnya ada di surat itu. Lah, gue tambah bingung, akhirnya disuruh balik lagi besoknya, besoknya, dan besoknya. Sampai akhirnya gue bersyukur uangnya bisa cair. Alhamdulillah lah. Uangnya juga udah ditukerin ke euro seperti yang gue ceritain di postingan sebelumnya di sini.

VISA

Yang ketiga adalah perihal pengurusan visa. Sampai detik ini gue nulis, gue masih belum ngerti kenapa birokrasinya gini banget. Bagi yang pernah ngurus visa Schengen pasti sudah paham gimana susahnya ngurus persyaratan buat visa ini (tanpa agen lo ya).

Mulai dari pengurusan SKCK dari polsek, polres, polda, hingga mabes polri di Jakarta. Belum lagi ada tambahan legalisasi dari kemenhumkan, dan kemenlu. Entah, di mata negara lain senakal apa warga negara Indonesia ini sampe harus ngurus SKCK se-begitu panjangnya. Oke, gue ga ngeluh kalau prosesnya lancar-lancar aja, lah ini terkesan dipersulit.

Di kemenkumham misalnya, gue harus dua kali kesana karena antrian yang membludak dan sudah over capacity. Padahal udah jauh-jauh datang dan bergumul di padetnya KRL dari depok. Bahkan untuk legalisasi membutuhkan waktu tiga hari kerja. Ini sukses bikin gue wara-wiri ga jelas. Belum lagi, ketika gue harus bolak-balik Surabaya-Jakarta karena ada urusan mendesak.

Oh ya itu baru syarat selembar SKCK, belum lagi syarat lain kek minimal saldo di Bank, Asuransi, Bukti Booking Pesawat & Hotel, dan masih banyak lagi. Untungnya gue ada surat penjaminan (LoA). Gak kebayang kalau harus ngurus visa tanpa ada beasiswa. Bisa-bisa dikira mau jadi pengamen di negara orang, atau gak jadi korban perdagangan manusia.

Padahal, menengok sebentar ke negara tetangga, Indonesia jauh ketinggalan sama Singapura dan Malaysia yang memiliki akses bebas visa ke banyak negara. Termasuk area Schengen yang sedang gue urus visanya ini.

Masalah ga berhenti di sini, ternyata birokrasi milik negara orang pun bikin mangkel juga. Gue submit visa awal agustus kemarin, tapi sampai hari ini visanya masih belum selesai. Bilangnya dulu visanya akan jadi dalam kurun waktu dua minggu-empat minggu. Bahkan senior gue yang lebih dulu apply, hanya butuh waktu dua minggu dan taraaaa visanya selesai (sekarang dia udah duluan di Europe btw).

Gue mulai panik! Telepon gak diangkat, email apalagi. Padahal, kalau aja dari pihak kedutaannya ngabarin atau at least balas doang itu udah bikin gue tenang. Setelah diemail berkali-kali baru dibales, itu pun terkesan hanya jawaban template, “Kalau sudah jadi akan kami kabari,” oke sepertinya kesabaran dan keimanan gue sedang diuji.

Padahal loh ya, ada senior yang submit visanya setelah gue udah jadi visanya senin kemarin. Gue makin panik, ada apa sebenernya di balik topeng kedutaan ini. Berkasnya kurang? Harusnya udah dikasih tau lebih awal. Berkas gue ketumpuk di tempat antah berantah? Bisa jadi. Pokoknya, ga ada keterangan yang jelas, apalagi mengenai estimasi waktu selesainya.

Gue selalu disuruh nunggu dan nunggu. Padahal, perkuliahan udah mulai minggu depan dan gue bakal kelewatan orientasi juga hiks. Begini banget birokrasi. Gue menemukan pola yang sama. Baik kasus EKTP, di Kampus, sama kedutaan. Di mana semua sektor ini sama-sama gak punya alur komunikasi yang baik. Ini yang bikin orang-orang pada males buat ngurus ini-itu. Apalagi buat orang-orang sibuk, menunggu buat sesuatu yang gak pasti itu sangat merugikan baik secara waktu, tenaga, dan uang.

 

Sekiranya dikasih kabar dan penjelasan aja itu udah bikin tenang.

Masih mau jad PNS? Kalau bukan kita yang melakukan perubahan, siapa lagi? Asik.

Doain gaes semoga visa gue cepet selesai. Huhu.

4 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: