Ocehan

Mendambakan Dibahagiakan Kebahagian Yang Membahagiakan

Bulan suci ramadhan sebentar lagi akan berakhir. Tak lebih dari seminggu lagi, tidak akan ada lagi keramaian, kegembiraan, maupun kebahagiaan yang patut tuk diharapkan. Tak lebih dari dua minggu lagi, raga yang tak seutuhnya kokoh ini pun akan segera kembali berkelana. Meninggalkan kenyamanan sementara di kampung halaman, walau apa-apa yang diharapkan tak kunjung datang.

Gampangnya orang tua gue misalnya. Sejak kepulangan gue di pertengahan bulan kemarin, sosoknya tak juga hadir. Kehangatan ramadhan dengan berkumpul seluruh sanak saudara pun hanya bayang-bayang saja. Akibatnya, selama berada di kampung, hanya ada gue, kakak tertua beserta keluarga kecilnya dan adik gue yang numpang sekolah di sini. Ada banyak kerabat yang seharusnya bisa bersua, tapi tak juga menampakkan rupa hingga saat ini.

Baca Juga: Puncak Eksploitasi Diri

Alhasil, gue rasa hidup gue tak ubahnya seorang yang sedang menikmati komedi putar di pasar malam. Ia berputar kencang dan terlihat indah dengan kerlap-kerlip lampunya. Ada gelak tawa juga eskpresi suka. Tapi nyatanya hatinya berduka. Seolah berpura-pura bahagia, padahal ia tak kunjung menemukan kebahagian ataupun ditemukan dengan kebahagiaan.

Hanya rasa mual yang tersisa. Tanpa mau lagi peduli betapa orang-orang dipenuhi topeng-topeng kebahagiaan fana. Sedangkan gue berbeda, gue ingin selamanya. Entah.

Berkaca dari semua pencapaian gue sampai detik ini pun. Gue rasa tidak ada yang benar-benar bisa membuat gue bahagia. Entah level skala kebahagiaan yang gue patok ketinggian atau memang gue sedang diuji untuk lebih keras lagi menemukan kebahagiaan Lebih-lebih, tidak ada yang mau membahagiakan. Hmm. Lagi-lagi entahlah.

Baca Juga: Ngomongin Visi, Target dan Keluh Kesah Mahasiswa

Me-munafik-kan Syukur

Yang gue pahami tentang hidup gue salama ini hanyalah tentang hebatnya rasa syukur. Ketika manusia dilanda kegelisahan yang mendera, rasa sakit yang tiada tara, syukur bisa jadi solusinya. Yang dengan hebatnya gue bisa menutupi segala ambisi yang sudah gue ciptakan sendiri. Menenangkan diri, mencoba memahami diri sendiri, walau sulit tapi ujung-ujungnya bisa ditangani.

Tapi, apakah syukur bisa bertahan selamanya? Inilah yang gue pikirkan sekarang.

Jika memang ada yang lebih baik ketimbah mensyukuri apa yang ada. Kenapa tidak?

Gue pernah tidak naik kelas, harus disyukuri karena masih banyak yang tidak bisa sekolah

Gue pernah ditinggalkan orang tua yang broken home, harus disyukuri karena masih banyak anak yang sejak lahir tidak memiliki orang tua

Gue pernah gagal dalam kompetisi, harus disyukuri karena masih banyak mereka yang tidak memiliki kesempatan mencoba

Gue pernah gagal dalam tes PTN, harus disyukuri karena masih banyak di luar sana yang harus kerja banting tulang jadi tulang punggung keluarga

Dan gue yakin gue (akan) pernah bahagia yang selamanya walau entah gatau kapan.

Layaknya kisah fiksi yang menceritaan kesedihan namun akhirnya berujung pada kebahagiaan yang (gue yakin) abadi. Ada klimaksnya. Dimana sang pemeran utama tak melulu hanya bisa bersyukur atas semuanya. Bahkan ketika ia tak harus bersusah payah, jodohpun serta merta bersedia mendekat kepadanya. Kehidupan (yang tampak) sempurna ini pun semestinya ada. Sebab Tuhan begitu kaya, ia berkuasa atas segalanya.

persentas-rumus-kebahagiaan

Baca Juga: Keluh, Jenuh

Kerap kali saat tak ada benih kebahagiaan, manusia sering menempatkan dirinya sedang berada di titik terendah dalam hidup. Cukup sering menghampiri dan mantap meguasai diri manusia. Tak ada jalan lain, manusia hanya bisa berkeluh kesah, menangis (jikalau pun ada air matanya). Hingga lagi-lagi, syukur adalah cara satu-satunya. Tanpa kita tahu, kemana sebenarnya syukur ini berujung.

“Coba jawab pertanyaanku,” kata Élise serius. “Ketika kau bersama Tatsuya Fujisawa, apakah kau merasa bahagia?”

Tara berpikir sebentar, lalu mengangguk.

“Ketika kalian mengobrol, apakah kau pernah merasa bosan?”

Tara cepat-cepat menggeleng. Tidak pernah. Laki-laki itu tidak pernah membuatnya bosan. Malah selalu mengejutkannya.

“Apakah jantungmu berdebar dua kali lebih cepat setiap kali dia menatapmu atau tersenyum kepadamu?”

Tara berpikir lagi, dan akhirnya mengangguk. Bahkan kadang-kadang jantungnya serasa berhenti berdegup.

“Tadi… Ketika aku menemuinya tadi,” katanya perlahan. “Dia sempat menyentuh kepalaku. Seperti ini.” Ia menyentuh puncak kepalanya sendiri dengan telapak tangannya. “Hanya sebentar, tapi jantungku langsung tidak keruan. Aku belum pernah merasa seperti ini. Apa yang terjadi, Élise?”

Di atas adalah cuplikan momen dalam Novel Autumn in Paris oleh Ilana Tan

Selama ini, sampai detik ini pula, kebahagian yang gue dambakan tidak serta merta bisa direngkuh dan mencapai puncaknya, untuk waktu yang lama. Namun pasti, saat ini, gue mendambakan kebahagiaan tanpa harus gue mengejar-ngejar kebahagiaan. Bagaimana seseorang bisa dengan mudahnya merasa bahagia oleh seseorang yang lain. Momennya singkat, namun akan terus diingat oleh Tara.

Gampangnya seperti menunggu, dibahagiakan oleh kebahagian yang membahagiakan. Iya kan?

Kalian bingung? Wajar! Gue juga ga ngerti gue nulis apaan. Sekadar menumpahkan ocehan yang sudah tak kuasa gue pendam lagi.

6 Comments

  • Qori

    Bener banget kalau hidup itu punya upside down. Mirip kayak ban, kalau komedi puter jarang naik.
    Dalam 5 tahun kebelakang, puasa gw jalani sama keluarga. Dan memang inilah yg membuat bulan ramadhan berkesan.

    Dont be afraid bray… nanti kalau bikin keluarga sendiri akab terbayarkan kok.

    • Muhammad Ridha Tantowi

      Kalo gue nyebutnya komedi puter mas kenapa? Karena gue ngerasa gini2 aja hidupnya. Pernah sesekali naik, tapi nanggung ga tinggi banget, ga ada puncaknya sama sekali. Ujung2nya waktu habis dan kudu turun, nikmatin flatnya hidup. Hehe

      InshaaAllahh mas

  • Andika Machmud

    “Gue pernah ditinggalkan orang tua yang broken home, harus disyukuri karena masih banyak anak yang sejak lahir tidak memiliki orang tua”

    Sama gue juga berpikir gitu, positif aja.. :((
    Tapi, meskipun udah pisah tetap ketemu walau nggak bisa setiap hari.

  • Fahrizi

    Saya juga kadang suka merasa begitu… Semakin lama, momen lebaran malah makin sepi… susah berkumpul dengan saudara2 sepupu….yaa tapi semoga suatu saat nanti kebahagian itu bisa sesegera mungkin menghampiri yaa.. Semangat teruss yaaa!

    Salam..

Leave a Reply

%d bloggers like this: