Ocehan,  Opini,  Stories

Memaklumi Alasan Klasik Mahasiswa

Sepulang dari Porto, saya merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada banyak hal-hal nyeleneh mahasiswa yang tidak bisa saya terima. Saya tidak serta merta kaget, karena sempat ada masa transisi di sini. Sebelum akhirnya saya kembali tergabung dalam sebuah organisasi. Walau terkesan dipaksakan, tapi keadaan lah yang menuntut demikian.

Hal-hal yang saya maksud tersebut antara lain budaya tidak tepat waktu, komunikasi jelek, budaya titip absen, dan pastinya tanggung jawab yang kececeran.

Saya hampir dibuat muak dengan ini semua. Walau sudah diingatkan, tapi tetap saja alasan klasik sebagai mahasiswa selalu jadi andalan.

“Sedang tidak mood”

“Akademik sedang berantakan”
“Tugas numpuk”
“Lagi gabisa ngatur waktu”
“Ada masalah keluarga”

Dan sederet alasan-alasan lain.
Uniknya, alasan-alasan ini selalu terulang. Sejak tahun pertama saya kuliah, saya sudah tergabung dengan organisasi yang menuntut akan profesionalisme. Namun faktanya, para mahasiswa di dalamnya (termasuk saya) tetap saja tidak bisa profesional. Bahkan hingga menginjak tahun ke lima saya di kampus dan organisasi ini.

Dalihnya, mahasiswa memang wajar salah, karena masih dalam proses belajar. Tapi, kalau terus-terusan salah, apakah kemudian bisa disebut sudah belajar? Atau setidaknya, adakah perkembangannya?

Mahasiswa juga terkenal dengan kemampuannya yang multi-tasking. Tidak cukup hanya bergabung di satu organisasi, mereka cenderung menyibukkan diri mengikuti berbagai macam kegiatan. Bagus. Sangat bagus. Akan banyak hal yang bisa dieksplorasi selain hanya duduk manis menyimak perkuliahan.

Tapi pada kenyataannya, mahasiswa tidak bisa seratus persen mendedikasikan diri mereka untuk berkontribusi. Alih-alih membantu, muncul ke permukaan saja tidak.

Ketika ditagih komitmennya, lagi-lagi mahasiswa bisa berlindung di balik tameng ‘status’ mahasiswa. Sebab tugas utama mahasiswa adalah belajar dan menuntut ilmu. Alasannya, bagaimanapun juga, akademik adalah prioritas pertama di atas apapun. Dan tidak lupa, alasan keluarga juga cukup ampuh.

Namun, perlu dicatat bahwa sebagai manusia, mahasiswa memiliki beban maksimum yang bisa dipikul. Layaknya bangunan, jika bebannya sudah sangat berlebihan ya bisa saja ambruk. Jangankan sakit, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Alih-alih prestatif dan kontributif, tidak menyusahkan orang lain saja sudah untung.

Saya sendiri pernah berada di posisi di mana saya sangat tidak produktif. Istilah gampangnya adalah tidak berkontribusi apa pun. Tidak ada mahasiswa yang sempurna memang. Tapi selalu ada kesempatan untuk menjadi lebih baik, untuk tidak membuat beban orang lain lebih berat, dan untuk tidak merugikan orang lain yang telah berkorban untuk kita.

4 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: